ASWAJA MUDA BAWEAN

Kumpulan Hasil-Hasil Bahtsul Masail via Kajian Fikih Terapan [KFT]

KISWAHMadzhabMaqashid SyariahPerbandingan TafsirTafsir

Ambiguitas Tafsir Dakwah dan Politik Era Reformasi: Studi Majlis Dzikir Susilo Bambang Yudhoyono Nurussalam.

23 Mins read

Abstrak

Penafsiran ayat Al-Qur’an terkait tema tentang politik, dalam konteks kegiatan majlis Dzikir SBY “Nurussalam”, dapat dipilah sebuah sub tema penting yaitu: “Organisasi Masyarakat (ORMAS) sebagai Kelompok Kepentingan (interest group) sekaligus lembaga politik di Era Demokrasi.” Dengan memperhatikan karakteristik, tujuan, dan proses pelaksanaan kegiatan “Majlis Dzikir SBY Nurussalam” nampak bahwa ada beberapa kata kunci yang dapat dijadikan landasan pemilahan ayat Al-Qur’an berdasarkan sistematika penafsiran Tafsir ayat sosial integratif, yaitu ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan konsep al-ummat, al-ukhuwwah al-islâmiyyah, dan al-ta’âwun, juga tema tentang: “komunikasi, dan strategi” secara umum sebagai sebuah entitas dakwah. Dalam kegiatan-kegiatannya, Majlis Dzikir SBY “Nurussalam” nampak telah mampu melaksanakan fungsi politik dakwah sebagai bagian dari sistem “Interest Group” dalam sistem demokrasi di Indonesia, tetapi di sisi lain lembaga ini  juga menjadi alat bagi dakwah politik SBY.

Pendahuluan

Relasi agama dan Negara dewasa ini di Indonesia khususnya, lebih dominan bersifat substantif. Tetapi ~di sisi lain~, menurut Firmanzah, fenomena praktik politik telah memberikan citra mengenai politik yang buruk di masyarakat. Politik berkonotasi persengkongkolan, intrik, penghianatan, lain di bibir lain di hati.[1] Memang sejak munculnya modernisasi dalam kehidupan beragama, yang ditandai dominasi ilmu-ilmu empirik, muncullah dikotomi antara kebenaran ilmu pengetahuan dengan kebenaran berdasarkan agama. Bahkan berlanjut kepada dekadensi moral dan kekacauan kemanusiaan (dalam bahasa agama; fitnah).[2] Karena itu, bagi para praktisi politik, berpolitik seringkali melupakan nilai-nilai positif dari filsafat politik, yang didefinisikan oleh SP.Varma bahwa filsafat politik adalah “usaha yang sungguh-sungguh untuk mengetahui sifat politik dan kebenaran, atau tatanan politik yang bagaimana yang dianggap baik”.[3] Berbeda dengan aktivitas kampanye islam politik yang dilakukan oleh capres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang nampak lebih mengedepankan nilai-nilai substansi islam di satu sisi dengan mendirikan “Majlis Dzikir Nurussalam SBY”. Tetapi disisi lain, sering dituduh tidak islami, misalnya karena dianggap sang istri calon Presiden ~saat berkampanye~ tidak mengenakan jilbab dalam kesehariannya. Sebuah fenomena yang menarik untuk diteliti jika ditinjau dari sisi etika politik dan substansi ajaran agama dalam konstruksi Tafsir Ayat Sosial Integratif (TASIF).[4] Lihat Bahan I dalam lampiran “Sistematika tafsir Sosial Integratif” (TASIF).

Penafsiran ayat Al-Qur’an terkait tema tentang politik, dalam konteks kegiatan majlis Dzikir SBY “Nurussalam”, dapat dipilah sebuah sub tema penting yaitu: “Organisasi Masyarakat (ORMAS) sebagai Kelompok Kepentingan (interest group) sekaligus lembaga politik di Era Demokrasi.”

 

Majlis Dzikir SBY Nurussalam sebagai Kelompok Kepentingan (interest group) di Era Demokrasi

Interested Group atau kelompok kepentingan, pada awalnya merupakan sebuah istilah baru dalam khazanah kehidupan masyarakat Indonesia, yang dalam kehidupan politik masyarakat Indonesia, istilah ini dapat dipahami dengan “organisasi massa atau ormas. Bagi masyarakat Indonesia modern, istilah ini dapat juga dipahami sebagai ”Lembaga Swadaya Masyarakat”/ Non-Government Organization (LSM/ NGO).

Dari aspek kegiatan publik secara umum, yayasan “Majlis Dzikir SBY Nurussalam” termasuk organisasi yang dikategorikan kepada “Kelompok Kepentingan” ini. Dalam dunia ormas non partisan, kelompok kepentingan (Interest Groups) dapat dimaknai sebagai  sekumpulan orang yang memiliki kesamaan sifat, sikap, pemahaman, dan tujuan tertentu yang sepakat mengorganisasikan diri untuk melindungi dan mencapai tujuan organisasinya. Menurut Miriam Budiardjo, kelompok kepentingan (Interest Groups) bertujuan untuk memperjuangkan sesuatu ‘kepentingan’ dan mempengaruhi lembaga-lembaga politik seperti parpol agar mendapatkan keputusan yang menguntungkan atau menghindarkan keputusan yang merugikan. Kelompok ini lebih banyak memperjuangkan kepentingan umum.[5]

Tetapi di sisi lain, yayasan ”Majlis Dzikir SBY Nurussalam”, tidak dapat dipungkiri, mengandung muatan politis dan merupakan lembaga tink-tank politik kandidat SBY, sebagai capres pada pemilu 2004 dan 2009. Karena itu, sesuatu yang wajar, jika mengkategorisasikan lembaga ini sebagai bagian dari tim kampanye Capres dimaksud, atau sebagai lembaga politik.

Di sub ini, akan dibahas terlebih dahulu tentang hakikat kelompok kepentingan (Interest Groups), secara sekilas. Pemahaman tentang hakikat kelompok kepentingan, dapat menggunakan pendekatan gabungan makna dimaksud, baik secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

Sebuah organisasi “kelompok kepentingan”, di era reformasi ini, dalam berinteraksi dengan pemegang kebijakan atau pemerintah biasanya menggunakan pendekatan persuasif melalui lobi dan jaringan kerja yang intensif. Kemudian bila hal itu, tidak terjalin dengan baik, mereka dengan adagium “kekuatan HAM dan kebebasan mengeluarkan pendapat” bisa saja menggunakan cara-cara lain, untuk dapat menekan pihak dimaksud, misalnya melalui penggalangan massa untuk menolak kebijakan pemerintah yang dinilai tidak memihak kepada kepentingan publik. Dalam kondisi ini, mereka melakukan penyesuaian perjuangan mereka menjadi “kelompok penekan” (Pressure Group).

Tetapi untuk kasus “Majlis Dzikir SBY Nurussalam” di era kepemimpinan SBY atau partai demokrat  tentu tidak akan menjadi “kelompok penekan”, karena memang beberapa pengurus inti dari majlis Dzikir ini menjadi bagian dalam pemerintahan SBY. Maka pemposisian majlis dzikir ini, dalam pemerintahan SBY tetap dalam berada kelompok kepentingan (Interest Groups). Karena itu, untuk mengetahui secara umum tentang hakikat kelompok kepentingan, ada beberapa klasifikasi terkait dengan kegiatan “kelompok kepentingan”.

Berdasarkan klasifikasi “kelompok kepentingan” dari Almound,[6] maka “Majlis Dzikir SBY Nurussalam” terklasifikasikan ke dalam kelompok keagamaan, yang memiliki ruang lingkup keanggotaan yang luas, dan di sisi lain termasuk kelompok institusional, karena menjadi bahagian dari lembaga politik dari partai tertentu.

Adapun berdasarkan tujuannya, “Majlis Dzikir SBY Nurussalam”, sebagaimana telah dikemukakan, yaitu: bertujuan menuju kebersamaan, memperkokoh persaudaraan islam (ukhuwah islamiyah), mengajak umat untuk saling bahu membahu, saling asah-asih-asuh dalam rangka menegakkan kalimatillah. Sedangkan secara epistemologis, majlis Dzkir ini melakukan kegiatannya dengan metode dzikir dan penggalangan massa.[7]

Dengan memperhatikan karakteristik, tujuan, dan proses pelaksanaan kegiatan “Majlis Dzikir SBY Nurussalam” nampak bahwa ada beberapa kata kunci yang dapat dijadikan landasan pemilahan ayat Al-Qur’an terkait penafsiran Tafsir ayat sosial integratif, yaitu ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan konsep al-ummat, al-ukhuwwah al-islâmiyyah, dan al-ta’âwun.

Majlis Dzikir SBY Nurussalam sebagai bahagian dari Tim Sukses kampanye Presiden SBY di Era Demokrasi

          Proses kampanye pemilu dengan kampanye politik, merupakan dua kegiatan yang saling melengkapi dan jika hanya dilakukan salah-satunya saja, akan berakibat kepada kurang efektif-nya kegiatan dimaksud bagi pemenangan seorang kandidat atau partai politik dimaksud. Karena itu pula, Susilo Bambang Yudhoyono, sejak jauh-jauh hari telah mulai melakukan kegiatan kampanye politik, diantaranya melalui “Majlis Dzikir SBY Nurussalam” ini. Bahkan semenjak tahun 2000, secara informal kegiatan yang kemudian majlis dzikir ini telah dilakukan, yang kemudian di tahun 2005 diresmikan menjadi sebuah lembaga formal institusional sebagai bagian dari lembaga politik di bawah naungan pendirinya sendiri.

          Dengan memperhatikan kondisi yang terkait dengan teori kampanye politik para ilmuwan politik, maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait dengan “majlis Dzikir Nurussalam” sebagai lembaga politik, hendaknya memperhatikan ayat-ayat yang berkenaan dengan tema: “komunikasi, dan strategi” secara umum sebagai sebuah entitas dakwah yang mampu mempengaruhi audiens (mukhâthab) untuk mengikuti apa yang disampaikan oleh komunikator politik.

Metode Tafsir Komparatif  dan kegiatan Majlis Dzikir SBY Nurussalam

        Peneliti memilah metode komparatif,[8] ~sebagai langkah ketiga dari sistematika TASIF ini~ sebagai satu cara untuk mengetahui pendapat para mufassir Al-Qur’an dari Indonesia berkenaan dengan tema dimaksud. Penentuan tema, sebagaimana dikemukakan di muka, bahwa kegiatan majlis Dzikir SBY Nurussalam dapat berkaitan dengan konsep al-ummat, al-ukhuwwah al-islâmiyyah, al-ta’âwun, serta komunikasi dan strategi sebagai sebuah entitas dakwah politik. Sehingga konteks keindonesiaan, tetap bisa diperoleh terkait tema-tema tersebut.

 

Konsep alummat dalam Al-Qur’an

          Lafal al-ummat dalam kamus Bahasa Arab, bermakna: Negara, masyarakat, generasi.[9] Lafal al-ummat ini juga seakar kata dengan al-imâmat yang memiliki makna: memimpin jalan, memimpin seseorang, posisi memimpin, atau seseorang yang diutamakan (precedence).[10] Adapun menurut M.Quraish Shihab, ~seorang ahli tafsir Al-Qur’an~ kata “ummat” terambil dari kata amma- yaummu yang berarti menuju, menumpu, dan meneladani. Lebih lanjut ia menyatakan:

Dari akar kata yang sama, lahir antara lain kata umm yang berarti ibu dan imâm yang maknanya ‘pemimpin’; karena keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan, dan harapan anggota masyarakat. Dalam kata ‘ummat’ terselip makna-makna yang cukup dalam. Umat mengandung arti gerak dinamis, arah, waktu, jalan yang jelas, serta gaya dan cara hidup. Untuk menuju pada satu arah, harus jelas jalannya, serta harus bergerak maju dengan gaya dan cara tertentu, dan pada saat yang sama membutuhkan waktu untuk mencapainya.[11] Lafal ummat dalam Q.S. an-Nahl:120-123 bermakna “pemimpin”, sedangkan pada Q.S. al-mukminûn: 52 bermakna “agama” sebagai faktor integral.

Dengan demikian, konsep ummat atau ummah sebagai sebuah konseptual dapat bermakna: “kelompok masyarakat yang memiliki sistem kepemimpinan tertentu sebagai tempat bertumpu dan aturan yang dinamis dalam perkembangan masyarakatnya dengan tujuan yang disepakati bersama sehingga mereka bisa bersatu.” Karena begitu dinamisnya term yang berasal dari Al-Qur’an ini sebagai sebuah konsep unik dari islam, maka istilah-istilah asing/lain dapat saja kompatibel dengannya, misalnya terdapat istilah nation (Negara), clan, suku, society (mujtamâ’/masyarakat), qawm (kaum), syu’ub, qabîlah, jamâ’ah, dan sebagainya. Walaupun masing-masing istilah tersebut, memiliki ciri khas makna tertentu, sesuai dengan perkembangan masyarakatnya.

Menurut Dawam Rahardjo, manakala membahas term ummah, bahwa istilah ini telah dianggap sebagai istilah kunci dalam khazanah para peneliti dari dunia Barat (Eropa dan USA) manakala mereka ingin mengetahui tentang konsep politik dalam Islam.[12] Dalam Q.S. al-A’râf: 34 dikemukakan bahwa setiap ummat memiliki batas waktu (ajal), maka ia bisa ber-revolusi, ber-evolusi, bermodifikasi, atau bahkan hancur diganti oleh umat atau generasi yang lain. Oleh karena itu, di ayat selanjutnya (Q.S. al-A’râf: 35),[13] Tuhan menganjurkan agar “umat” atau kelompok masyarakat ini melakukan “perbaikan” (ishlah) dan “taqwâ” (menjaga diri dalam nilai-nilai moral dan etika untuk memperoleh petunjuk Tuhan dan kebenaran beragama), juga tidak takabur atau sombong dengan tidak membuat sistem yang mengarah kepada sikap tirani.  Maka disinilah pentingnya para nabi ~atau dalam konteks sekarang~ para agamawan dan ilmuwan yang mampu memberikan basyîrâ (reward) dan nadzîrâ/punishment (Q.S. Fâthir: 24),[14] sebagai sebuah sistem hukum. Tugas tersebut mendapat penguatan dari Q.S. Alu Imrân: 104 & 110,[15] yaitu adanya tugas bagi “kelompok elit” umat manusia untuk memerintahkan yang makruf (kebaikan kultural) dan mencegah/melarang yang munkar (buruk; yang melanggar ajaran etika dan agama).

          Ummat sebagai sebuah sistem politik dan kontrak sosial, telah dicontohkan oleh nabi Muhammad saw manakala ia bersama berbagai kelompok suku dan agama yang ada di Madinah membentuk sebuah kesepakatan atau perjanjian yang disebut dalam sejarah ~sekitar 622 M~ dengan “mitsâq al-madînah”. Karakter perjanjian ini adalah moderat (Q.S. al-Baqârah:142), juga menjalankan nilai-nilai keberagamaan masing-masing kitab suci yang ditandai sikap tidak boros dan berparadigma kesejahteraan, sayangnya diantara mereka yakni sekelompok orang Yahudi dan beberapa kelompok suku melakukan hal-hal yang buruk. (al-Mâidah: 66).

          Menurut Munawir Sjadzali, prinsip dasar dalam “Piagam Madinah” sebagai landasan masyarakat majemuk sebagai ummat adalah: a. semua pemeluk islam meskipun berasal dari banyak suku, tetapi merupakan satu komunitas (ummatan wâhidatan); b. hubungan antara sesama anggota komunitas islam dengan anggota komunitas non islam didasarkan kepada prinsip: bertetangga yang baik, saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, membela mereka/anggota kelompok yang teraniaya, saling menasihati, dan menghormati kebebasan beragama.[16] Menurut Deddy Ismatullah ~Rektor UIN Bandung periode 2011-2015~, Nabi Muhammad, sebagai pemimpin ummat dalam perjanjian tersebut, menjalankan hablum min Allâh dan hablum min an-nâs sekaligus, juga menggunakan prinsip musyawarah (al-syûrâ), [17] sebagaimana yang diperintahkan dalam Al-Qur’an diantaranya Q.S. asy-Syûrâ: 38, Alu Imrân: 159, an-Naml: 32.[18]

Konsep al-ukhuwwah al-islâmiyyah;

          Al-Ukhuwwah berasal dari kata al-akh yang bermakna: persaudaraan atau persahabatan.[19] Menurut M.Quraish Shihab, ukhuwwah pada mulanya berarti “persamaan dan keserasian dalam banyak hal”, dan al-ukhuwwah al-islâmiyyah dapat bermakna “persaudaraan antar sesama kaum muslim”, atau “persaudaraan secara islam, persaudaraan yang bersifat islami”,[20] juga bermakna “persaudaraan dalam islam”. Berdasarkan pemahaman tentang teks Al-Qur’an, persaudaraan dalam islam, tidak melulu didasarkan atas landasan agama semata, tetapi karena faktor-faktor lainnya seperti persaudaraan karena anak angkat, karena adanya pembebasan ( Q.S. al-Ahzâb: 5), karena sesama umat manusia (al-Hujurât: 12), karena sama-sama satu bangsa atau suku (al-A’râf:7, Hûd:11, al-‘Ankabût: 29), karena memiliki sifat atau pola hidup yang sama (al-Isrâ`: 27), karena adanya hubungan perkawinan (al-Baqârah: 220), dan karena kesamaan lainnya. Walaupun persaudaraan karena landasan agama (al-Baqârah: 256; al-Tawbah: 11) dan sikap ihsân [21] akan menjadi lebih kuat ikatan persaudaraannya (Luqmân: 22).

          Disamping itu, persaudaraan dalam islam, mengharuskan adanya sikap ishlah (al-Hujurât: 10), tidak saling menjelekan, tidak berburuk sangka, serta saling berusaha untuk ta’âruf / mengenal (al- Hujurât: 11-13). Dengan kata lain, bahwa persaudaraan dalam islam, akan terjalin dengan baik, jika syarat-syarat atau faktor tersebut diaplikasikan secara konsekwen dan didasari atas nilai-nilai etika agama.

Kuntowijoyo menafsirkan ayat ta’âruf ini (al- Hujurât: 13) dengan objektivisme teosentris, resiprositas, dan komunikasi dialogis egaliter. Menurutnya objektivisme teosentris merupakan paradigma dalam filsafat sosial islam, termasuk hukum, etika, ekonomi, dan politik. Dalam paradigma ini, manusia harus memahami realitas secara objektif yang dilandasi atas nilai-nilai ketuhanan. Penyebutan realitas manusia yang terdiri atas beraneka bangsa dan suku serta pentingnya kemuliaan takwa dalam kehidupan manusia pada ayat tersebut, menunjukan pentingnya paradigma objektivisme teosentris ini. Kemudian istilah “resiprositas” adalah hubungan timbal balik antar manusia dengan memahami kepentinga masing-masing baik secara horizontal maupun vertikal. Sedangkan dalam “komunikasi dialogis egaliter” mensyaratkan adanya sebuah Negara hukum, yang dapat menjamin terlaksananya kesamaan hak dan kewajiban setiap warga negara. [22]

 

Konsep al-ta’âwun;

        Perintah untuk melakukan tolong-menolong disebutkan misalnya dalam Q.S. al-Mâidah/5:2.[23] Perintah pada ayat tersebut adalah menolong kepada siapapun dalam bidang apapun yang bernilai positif, untuk kemaslahatan pihak yang ditolong dan untuk peningkatan kualitas takwa, baik sang penolong ataupun yang ditolong. Karena itu, kemaslahatan disini bersifat kolektif, tidak elitis. Kemaslahatan yang lebih menguntungkan masyarakat dari pada kaum penguasa.

          Menurut Kuntowijoyo, ta’âwun atau kerjasama dalam konteks nasional adalah penting didahulukan, sebelum diberlakukannya perdagangan bebas mulai 2020. Kerjasama nasional hanya dapat berjalan jika kita dapat menghilangkan dualisme ekonomi, monopoli, oligopoli, nepotisme, dan ersatz capitalism serta mempunyai pemerintahan yang bersih (tanpa korupsi dan kolusi). Ta’âwun dalam islam, mengandung dua sisi: kepentingan manusia dan “kepentingan” Tuhan.[24] Kepentingan Tuhan adalah terlaksananya sistem tatanan hidup universal, seperti konsep keadilan, dan pemberdayaan ekonomi kaum lemah, dan sebagainya.

Lafal yang digunakan dalam ayat tersebut adalah hendaknya menolong tentang hal-hal yang mengandung al-birr dan al-taqwâ. Makna al-birr  adalah kebajikan universal, sedangkan makna al-taqwâ  ~jika mencoba menyimpulkan dari berbagai penafsiran Dawam Rahardjo, adalah “kemampuan menjaga diri dalam nilai-nilai moral dan etika untuk memperoleh petunjuk Tuhan dan kebenaran beragama.”[25]

Pentingnya melakukan kebajikan (al-birr) juga dinyatakan dalam Q.S. Alu Imrân:92.[26] Seringkali kita memberi sesuatu yang “bekas” atau kita sendiri merasa sudah tidak lagi membutuhkannya, dengan alasan agar daripada tidak mubazir. Padahal adanya penekanan dalam ayat tersebut bahwa kita baru bisa disebut sebagai “orang baik” dalam pandangan agama manakala materi yang kita berikan hendaknya merupakan sesuatu yang memang kita sendiri mencintainya atau menghendakinya, sehingga “sesuatu” yang diberikan itu betul-betul memiliki kualitas terbaik.

Kemudian di ayat lain yaitu Q.S. al-Tawbah: 53, 54, 121, mensyaratkan bahwa pemberian siapapun dan sekualitas apapun barang yang diberikan, jika diiringi dengan sifat “fasik” dan “pengingkaran” terhadap hukum-hukum Tuhan, maka pemberiannya tidak dipandang sebagai sebuah kebaikan yang hakiki atau kebaikan yang ia lakukan tersebut, tidak akan sampai kepada Tuhan dan tidak diterima sebagai sebuah nilai kebajikan.

Sifat “fasik” dan “pengingkaran” yang menjadi penghalang diterima suatu kebajikan dalam pandangan agama. Karakter atau sifat “fasik” merupakan sifat orang yang ~suka atau terpaksa~ sering melakukan perbuatan dosa, baik dosa ritual, sosial, maupun dosa dengan melakukan pengrusakan lingkungan (environment).[27] Berdasarkan penelitian Cawidu, bahwa term “fasik” menurut aliran-aliran teologi dalam Islam merupakan prediket tambahan yang diberikan kepada orang mukmin pelaku dosa besar, baik ia tetap dianggap mukmin dengan perbuatannya itu, maupun sudah dikategorikan sebagai orang yang ingkar teologis (kâfir).[28] Tetapi di dalam Alqur’an, perbuatan yang ditunjuk sebagai fasik, ada yang tergolong dosa besar dan ada yang tidak,[29] namun harus diakui bahwa pada umumnya kefasikan yang disebut dalam Alqur’an merujuk kepada dosa-dosa besar. Kalaupun tidak menunjukkan dosa besar secara eksplisit, namun perbuatan-perbuatan yang ditunjuk dengan term fasik ini umumnya menimbulkan dampak negative yang cukup besar, khususnya terhadap kemaslahatan agama dan masyarakat.[30]

Konsep Komunikasi sebagai entitas dakwah politik dalam perspektif Al-Qur’an

          Relasi komunikasi dengan politik dalam istilah “komunikasi politik”, sebagaimana dijelaskan di muka adalah yang pertama menjadi ujung tombak bagi yang kedua. Artinya komunikasi dapat dilakukan dengan tujuan politik. Komunikasi berada di depan sedangkan politik, merupakan sesuatu yang melatar-belakangi dilakukannya suatu komunikasi. Sedangkan komunikasi dan dakwah merupakan hubungan umum dan khusus, artinya komunikasi lebih umum dari pada dakwah, karena dakwah merupakan bahagian dari komunikasi yakni kedudukan dakwah lebih cenderung kepada komunikasi massa dari keilmuan komunikasi. Adapun dakwah politik merupakan ajakan untuk tujuan politik, sedangkan politik dakwah merupakan strategi dalam melaksanakan dakwah islam. Maka komunikasi sebagai dakwah politik merupakan cara komunikasi untuk tujuan politik tertentu.

Untitled

Tafsir Al-Qur’an tentang Komunikasi

Ungkapan Al-Qur’an yang menunjukan ada kaitan langsung dengan komunikasi dan dakwah, secara makna adalah ayat-ayat yang menyebutkan adanya perintah nasihat, menyampaikan dan mengajak kepada nilai-nilai ajaran agama (amar ma’rûf nahi munkar), memberi kabar gembira atau peringatan, perintah mengatakan atau menyatakan kepada orang lain walaupun khithab atau audiens dari ayat adalah rasul/nabi tetapi dapat menunjukan juga perintah kepada umatnya. Secara lafal, ayat tentang komunikasi dan dakwah adalah ayat-ayat yang menggunakan derivasi dari kata-kata: al-da’wah, al-tablîgh, amar ma’rûf nahi munkar, al-qawl, al-nashîhat.  Ayat-ayat dimaksud, diantaranya Q.S. al-Baqârah: 119, 257; an-Nahl:125; al-Qashash: 56; al-fath: 29; al-Mâidah: 19, 54; Alu Imrân: 64, 104, 110, 159, 187; al-An’am: 151-153; Ibrâhim: 10; al-Hajj: 49-50; Yünus:25; al-Baqârah:221, 256; al-A’raf:79, 199; al-Balâd: 17; al-Saff:2-3; al-Kahfi: 29, 54, 56; al-Tawbah:122; al-Isra’:53; al-Syu’arâ’: 214; al-A’raf: 85; al-Anbiyâ’:107; al-Ahzab:70-71; an-Nisâ:63; al-‘Ankabüt: 46; Thâhâ: 43-44; al-‘Ashr:1-3.

Dakwah sebagai komunikasi massa, sejalan dengan komunikasi politik yang lebih cenderung memanfaatkan komunikasi sebagai cara massif untuk menggalang massa. Dalam melakukan dakwah, dapat menggunakan berbagai metode, diantaranya: 1. Dakwah dengan metode ceramah (lisân al-maqâl); 2. Dakwah dengan metode keteladanan (Uswatun Hasanah atau bi al-hâl), 3. Dakwah dengan metode cerita dan kesejarahan (al-qishshah), 4. Dakwah dengan metode wasiat (washaya), 5. Dakwah dengan metode dialogis (al-hiwâr), 6. Dakwah dengan metode musyawarah mufakat (al-syûrâ baina rijâl al-mujtamâ’ atau muktamar organisasi), 7. Dakwah dengan metode zikir dan spritualitas (al-dzikir wa tazkiyyatu al-qalb).

Adapun ketujuh metode tersebut, hendaknya bermuatan tiga hal: hikmah, nasihat, dan argumentatif, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. an-Nahl:125.[31] Hikmah adalah ilmu yang dapat menggerakan masyarakat atau individu kepada kemanfaatan atau kemaslahatan sesuai dengan konteks perkembangan zaman dan kondisi yang tepat. Nasihat yang berasal dari bahasa Arab ini, secara leksikal bermakna kemurnian (khalasha), merajut atau menjahit (khâtha). Maka nasihat dapat dimaknai dengan kemampuan mengkolaborasikan berbagai potensi yang dimiliki sehingga sesuai dengan kondisi dan apa yang dikehendaki oleh sang pemesan, sebagaimana penjahit mampu menyatukan berbagai kain sehingga membentuk mode suatu pakaian yang diinginkan oleh sang pemesannya tanpa memasukan keinginan pribadi sang penjahit. Adapun makna argumentatif, adalah argumentasi dengan menggunakan berbagai perumpamaan (al-matsal) dan analogi dengan cara yang ihsân sehingga dapat diterima dengan lapang dada. Istilah “ihsan” dapat dimaknai dengan “kebaikan yang mengandung kebajikan bagi komunikan atau mukhâthab.”

Adapun penjelasan ringkas terhadap masing-masing metode tersebut yaitu, sebagai berikut:

Pertama, Dakwah dengan metode ceramah (lisân al-maqâl); seorang da’i atau penceramah, hendaknya memiliki kemampuan dalam menggunakan diksi kalimat atau kata-kata sehingga dapat mudah dipahami oleh lawan bicaranya atau mukhâthab/audiens. Terdapat beberapa istilah, dalam Al-Qur’an yang menunjukkan tentang kemampuan ini, yaitu: a. Q.S. al-Ahzab: 70-71 mengungkap istilah “qawlan sadîdâ“. Istilah ini dapat bermakna “ucapan yang tepat sasaran (shawab) dan bernilai adanya perbaikan (qâim). Ucapan ini dapat bersifat persuasif dan keluar dari hati yang bersih, sekaligus memiliki kekuatan moral karena berasal dari orang yang memiliki kualitas takwa terlebih dahulu. Menurut Achmad Mubarok, ungkapan yang persuasif memiliki kekuatan berikut: kekuatan keindahan bahasa; kekuatan intonasi suara yang berwibawa; kekuatan logika yang mendalam; kekuatan adanya optimisme/harapan (basyîran); kekuatan adanya peringatan yang mencekam (nadzîran); kekuatan ungkapan yang penuh ibarat/perumpamaan;[32] b. Q.S. an-Nisâ: 63 mengungkap istilah “qawlan balîghâ”. Istilah ini secara kebahasaan adalah ucapan yang fasih dan sesuai dengan kondisi mukhâthab / audiens. Karena itu dapat berarti “ungkapan yang berkualitas” atau dalam ilmu komunikasi merupakan “komunikasi yang efektif”. Menurut Jalaluddin Rahmat, pengertian “qawlan balîghâ” adalah komunikator menyesuaikan perkataannya dengan frame of reference dan field of experience, juga komunikator mampu menyentuh khalayak pada hati dan kalbu sekaligus;[33]  c. Q.S. Thâhâ: 43-44 mengungkap istilah “qawlan layyinâ”, yang bermakna “ucapan yang lemah-lembut”. Perkataan ini mengandung arti bahwa hendaknya dakwah disampaikan dengan kalimat yang menyejukan, sehingga tidak memacu emosi sang mukhâthab apalagi jika yang diajak bicara adalah penguasa yang tiran dan tidak memiliki kedekatan psikologis, sebagaimana Fir’aun dalam kisah ayat tersebut; d. Q.S. al-Baqârah: 235, an-Nisâ: 5 dan 8, al-Ahzab: 32, keempat ayat tersebut menyebut istilah “qawlan ma’rûfâ”. Lafal “ma’rûf” bermakna: kebaikan kultural, artinya sesuatu yang dianggap pantas oleh suatu kelompok atau masyarakat. Maka“qawlan ma’rûfâ” bermakna: “ucapan yang dianggap pantas atau wajar sesuai dengan adat-istiadat suatu masyarakat, atau komunikasi etis.” Menurut Jalaluddin Rahmat, dalam sebuah seminar, bahwa “qawlan ma’rûfâ” adalah pembicaraan yang bermanfaat, memberikan pengetahuan, mencerahkan pemikiran, menunjukan pemecahan terhadap kesulitan kepada orang lemah, jika kita tidak dapat membantu secara material, kita harus dapat membantu psikologi;[34] e. Q.S. al-Isrâ’: 23, mengungkap istilah “qawlan karîmâ”. Maknanya adalah “ucapan yang mulia, santun, penuh hormat dan penghargaan, tidak menggurui, juga tidak menggunakan retorika yang meledak-ledak.” Biasanya kondisi audiens-nya adalah para orang tua yang kondisi fisiknya mulai melemah atau mudah tersinggung; f. Q.S. al-Isrâ’: 28 mengungkap istilah “qawlan maysûrâ”. Istilah ini dapat bermakna “perkataan yang mudah dipahami, ringan, dan tidak berliku-liku.” Biasanya digunakan kepada audiens yang tidak membutuhkan banyak penjelasan, karena tingkat intelektualnya sederhana dan baginya yang terpenting langsung ke inti yang diinginkannya, misalnya yang bersifat material.

Kedua, Dakwah dengan metode keteladanan (uswatun hasanah atau bi al-hâl); keteladanan dalam masyarakat Indonesia dikenal istilah “tutwuri handayani” dan teladan utama dalam islam adalah Nabi Muhammad saw. Ada empat karakter atau sifat para nabi dalam memimpin umat: a. shiddiq (Transparansi); b. Amânah (Kompetensi); c. Tablîgh (komunikatif); d. Fathânah (Intelegensi). Sedangkan dakwah dengan bil hâl menurut Yunan Yusuf adalah kegiatan dakwah melalui aksi atau tindakan nyata sehingga berorientasi kepada pengembangan masyarakat.[35] Terkait dengan uswatun hasanah, seorang da’i hendaknya mengamalkan kode etik dakwah, diantaranya: a. sesuai antara ucapan dengan perbuatan; b. memegang teguh nilai-nilai tauhid atau memiliki keyakinan yang mantap; c. tidak menghina Tuhan-tuhan agama lain; d. tidak melakukan diskriminasi social dalam berdakwah dan dalam keseharian; e. tidak meminta imbalan dakwah atau memiliki niat ikhlas dalam berdakwah; f. tidak berteman dengan pelaku maksiat; g. tidak menyampaikan hal-hal yang belum diketahui dan selalu belajar;[36]

Ketiga, Dakwah dengan metode cerita dan kesejarahan (al-qishshah); Dalam Q.S. Yûsuf: 111,[37] dinyatakan bahwa kisah-kisah yang termuat dalam kitab suci dapat mengandung nilai-nilai penting untuk dijadikan pelajaran bagi manusia yang mau memikirkan kisah itu. Kisah yang terdapat dalam Al-Qur’an juga dapat dijadikan pelajaran bagi para da’i untuk mengetahui metode para nabi dalam berdakwah. Demikian juga menceritakan nilai-nilai positif dari sejarah masa lalu sebagai pelajaran penting untuk mengetahui contoh solusi yang pernah mereka aplikasikan dalam sejarah, termasuk memahami kekurangan yang ada.

Keempat, Dakwah dengan metode wasiat (washaya); ungkapan Al-Qur’an yang menunjukan adanya perintah wasiat diantaranya terdapat dalam Q.S. an-Nisâ: 131. Terdapat beberapa makna wasiat, diantaranya adalah “ucapan berupa arahan atau pedoman kepada orang lain terhadap sesuatu yang belum dan akan terjadi”.[38] Sedangkan menurut M.Quraish Shihab, wasiat adalah: “ucapan yang bermuatan perintah tentang sesuatu yang bermanfaat dan mencakup kebaikan yang banyak.” Kandungan wasiat dalam ayat tersebut adalah “takwa” dan takwa merupakan simpul kebajikan. [39] Beberapa ayat lain, yang mengandung pesan bernilai wasiat adalah Q.S. an-nisâ: 151-153, di ayat tersebut terdapat sepuluh wasiat Allah swt yang terekam dan penting dilaksanakan umat manusia. Demikian juga pesan bernilai wasiat bisa didapat dalam Q.S. al-An’am: 153, al-Balad: 17, dan al-‘Ashr: 3. Juga terdapat pesan wasiat Nabi kepada ulama, diantaranya: perintah amar makruf nahi munkar.

Kelima, Dakwah dengan metode dialogis (al-hiwâr); ada beberapa etika dialog yang perlu diperhatikan, agar tujuan dari dialog tercapai dengan baik, yaitu: a. adanya kejujuran kedua belah pihak; b. adanya penentuan tema dialog dan objektif dalam mensikapi permasalahan, sehingga arah pembicaraan lebih jelas serta dapat tercapai sasaran yang diinginkan kedua belah pihak; c. argumentative dan logis, sehingga masing-masing pihak menyadari dan memahami apa yang diinginkan kedua belah pihak dengan tanpa menggunakan otot; d. bertujuan untuk mencapai kebenaran permasalahan dengan melihat berbagai perspektif; e. tawadu dalam mengemukakan pendapat dan alasan masing-masing; f. memberi kesempatan kepada lawan bicara untuk mengemukakan alasan dengan tanpa menjelek-jelekan kepribadian, juga dalam menanggapi ide-ide dan pikiran yang dituangkan.[40] Contoh ayat yang menunjukan pentingnya adanya dialog dalam berdakwah, misalnya tersebut dalam Q.S.Alu Imrân: 64, al-‘Ankabût:46, al-Kahfi: 56, al-An’am:63-64, Yûnus: 15, dan al-Ghâsiyah: 17-20.

Keenam, Dakwah dengan metode musyawarah untuk mencapai yang terbaik (al-syûrâ baina rijâl al-mujtamâ’ atau muktamar organisasi); makna musyawarah pada mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Dalam Al-Qur’an, musyawarah dapat dilakukan untuk segala masalah yang belum terdapat  petunjuk agama secara jelas dan pasti, sekaligus yang berkaitan dengan kehidupan duniawi. [41] Musyawarah dalam Islam, dilakukan oleh orang-orang yang ahli di bidang tertentu. Artinya syarat untuk melakukan musyawarah adalah memiliki kompetensi (amânah) dan intelektualitas (al-‘ilm). Lebih lanjut menurut M.Quraish Shihab:

“tentu tidak mudah melibatkan seluruh anggota masyarakat dalam musyawarah itu, tetapi keterlibatan mereka dapat diwujudkan melalui orang-orang tertentu yang mewakili mereka, yang oleh para pakar diberi nama berbeda-beda sekali dengan ahl al-hal wa al-‘aqd, dikali lain dengan ahl al-ijtihâd, dan kali ketiga ahl al-syûrâ. Penamaan ahl al-syûrâ merupakan istilah umum, yang kepada mereka para penguasa dapat meminta pertimbangan dan saran. Jika demikian tidak perlu ditetapkan secara rinci dan ketat sifat-sifat mereka, tergantung pada persoalan apa yang sedang dimusyawarahkan. Sebagian pakar kontemporer memahami istilah ahl al-hal wa ‘aqd sebagai orang-orang yang mempunyai pengaruh di tengah masyarakat, sehingga kecenderungan mereka kepada satu pendapat atau keputusan mereka dapat mengantarkan masyarakat pada hal yang sama. Muhammad Abduh memahami ahl al-hal wa al-‘aqd sebagai orang yang menjadi rujukan masyarakat untuk kebutuhan dan kepentingan umum mereka, yang mencakup pemimpin formal maupun non-formal, sipil maupun militer. Adapun ahl al-ijtihâd adalah kelompok ahli dan para teknokrat dalam berbagai bidang dan disiplin ilmu.[42]

          Musyawarah dalam Islam tidak hanya bersama orang yang seagama, tetapi dengan non agama, juga dianjurkan. Hal itu diisyaratkan dalam Q.S. Alu Imrân: 159,[43] dan itu menunjukan bahwa islam adalah rahmat bagi semua makhluk (rahmatan lil ‘âlamîn). Karena itu konsep islam mesti mengikuti perkembangan zaman, dan dalam berbagai kondisi atau tempat. Maka relasi musyawarah dengan demokrasi yang mulai berkembang di era modern, adalah bahwa musyawarah dapat menjadi prinsip-prinsip utama bagi dilakukannya praktik demokrasi di era Negara bangsa. Demokrasi tanpa prinsip musyawarah akan melahirkan calon atau kandidat pemimpin yang tidak memiliki kapabilitas yang memadai, sebagaimana yang disyaratkan dalam al-syûrâ.

Ketujuh, Dakwah dengan metode zikir dan spritualitas (al-dzikir wa tazkiyyatu al-qalb); zikir pada mulanya bermakna: “mengingat”, dan yang dimaksud disini adalah “mengingat Tuhan agar dapat dekat dengan-Nya”. Rasulullah saw bersabda:

عن أبي هريرة- رضي الله عنه- قال: قال رسول الله- صلى الله عليه وسلم-: “ما جلس قوم مجلسًا يذكرون الله فيه إلا حفتهم الملائكة وغشيتهم الرحمة وذكرهم الله فيمن عنده” (أخرجه مسلم

Tidak berkumpul suatu jamaah dalam rangka berzikir kepada Allah melainkan mereka akan dipeluk oleh para malaikat, dilindungi atas mereka rahmat, dan turun ke atas mereka ketenangan dan mereka akan diingat oleh Allah swt di hadapan sekalian makhluk yang ada pada sisi-Nya.” (Hadist Riwayat Imam Muslim).

Praktek zikir merupakan bahagian dari kegiatan tasawuf. Dalam islam dikenal istilah hakikat dan syariat. Hakikat adalah praktek tasawuf sedangkan syariat merupakan landasan hukum Islam. Secara definitif, “syariat” menurut Abu al-Qasim al-Qusyairi, adalah perkara atau ketentuan yang mengharuskan adanya ibadah, sedangkan “hakikat” adalah Penyaksian Ketuhanan. Ada yang menafsirkan bahwa “hakikat” adalah menyaksikan Tuhan melalui perantara hati, sedangkan “syariat” adalah mengetahui tatacara (al-suluk) menuju Tuhan. Relasi keduanya, saling melengkapi, karena “syariat” tanpa melaksanakan “hakikat” maka ibadahnya bisa tidak diterima, sedangkan setiap “hakikat” yang tidak diikat dengan “syariat” maka tidak akan berhasil. Dengan syariat, manusia menyembah Allah, dan dengan “hakikat”, manusia dapat “menyaksikan” Allah. Bahkan penafsiran dalam Q.S al-Fatihah: “iyyâka na’budu” bisa terpelihara dengan “syariat” dan “iyyâka nasta’în” merupakan ketetapan dengan hakikat. [44] Maka zikir merupakan cara untuk mendekati Allah, sekaligus menjauhi hawa napsu.

Orang yang mengikuti hawa napsunya berarti ia telah melupakan Allah swt. Di dalam Q.S. al-Jatsiyah: 23, disebutkan: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”. Menurut berbagai pendapat, makna “Allah menyesatkan manusia” adalah “Allah menjauhkan manusia itu dari memperbaiki kualitas hatinya sehingga ia melupakan Tuhannya dan sibuk dengan kehidupan duniawi-nya, dan segala potensi yang ia miliki ~baik pendengaran, penglihatan, bahkan potensi jiwanya~ semuanya diarahkan kepada kehidupan duniawi karena terbawa oleh keinginan hawa napsunya.” Sehingga antitesa dari epistemologi zikir kepada Allah swt, adalah mengikuti hawa napsu, sedangkan zikir kepada Allah adalah cara untuk mengikis keinginan hawa napsu untuk memurnikan potensi hati manusia agar mampu berdekat-dekat dengan Tuhan.

Menjalankan ibadah ritual, seperti shalat adalah satu cara untuk mengingat atau zikir kepada Tuhan.[45] Demikian juga dalam ibadah puasa, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis yang cukup terkenal: “untuk orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan, yaitu kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika melihat Tuhannya”.

Bahkan menurut para peneliti Islam, bahwa semua aktivitas dalam ajaran Islam adalah bersifat teosentrisme, segala sesuatu bermula dan berakhir kepada Tuhan bagi terciptanya kebahagiaan manusia di dunia dan akherat sekaligus. Karena itu makna zikir secara luas adalah tidak hanya menyebut nama Allah secara lisan, tetapi menyebutkan dalam hati, dan dalam hembusan napas. Termasuk semua aktivitas keseharian orang mukmin dapat menjadi aplikasi dari zikir kepada Allah, sebagai sebuah ketundukan untuk menjalankan tugas utamanya yakni beribadah kepada sang penciptanya. Beribadah secara sosial pun termasuk zikir kepada-Nya.

Dalam Al-Qur’an, manusia diperintahkan berzikir kepada Allah swt agar ia mendapat limpahan rahmat-Nya (Q.S. al-Ahzab: 41-43), menghapus perbuatan dosa (Q.S. Alu Imrân: 135; al-Ahzâb: 35), agar tidak tergoda oleh rayuan maut syetan ( Q.S. al-A’râf: 201), sebagai substansi dari kegiatan shalat (Thâhâ: 41), agar mampu mensucikan jiwanya dengan cara mensucikan Tuhan-nya (Alu Imrân: 41), menghilangkan sifat lalai (al-A’râf: 205), dan tujuan lainnya yang dapat memberikan kemanfaatan individual atau kolektif manusia (adz-Dzâriyât: 55).

Menurut penulis kitab al-risâlah al-Qusyairiyah, zikir adalah pondasi yang kuat dalam menempuh jalan Tuhan (al-haq), bahkan zikir dapat menjadi pondasi utamanya, dan tidak ada yang mampu sampai kepada Tuhan kecuali dengan dawam dalam berzikir. Zikir ada dua macam: zikir lisan dan zikir hati. Zikir lisan dapat menyampaikan seorang hamba (manusia) kepada keberlangsungan zikir hati dan berpengaruh kepada zikir hati. Jika seorang hamba (manusia) itu berzikir dengan lisan dan hatinya, maka sifat/karakternya sempurna dalam kondisi perjalanannya menuju Tuhan.[46] Dalam perkembangan ilmu tasawuf, zikir kepada Tuhan ada yang berdasarkan ajaran tarikat (al-tharîqat)-nya masing-masing ada yang non-tarikat. Kelompok yang non-tarikat biasanya melakukan zikir dengan menggunakan asmâul husnâ dengan tanpa mengikuti aturan teknis dari tarikat, seperti aturan dari segi jumlah yang harus diucapkan, dan aturan lainnya yang dapat membantu sâlik (penempuh jalan Tuhan) untuk mendekatkan dirinya kepada sang Khalik baik dari ahwâl ataupun maqâmât.

Para pakar tasawuf, misalnya memberikan kategorisasi terhadap para penempuh jalan Tuhan tersebut, yaitu dengan beberapa tahap: Pertama, meningkatkan ma’rifah melalui pengetahuan dan ketakwaan; Kedua, membebaskan diri dari perbudakan syahwat dan hawa napsu; Ketiga, menyucikan jiwa dengan jalan berakhlak dengan akhlak Allah swt.[47]


Penutup

Penafsiran ayat Al-Qur’an terkait tema tentang politik, dalam konteks kegiatan majlis Dzikir SBY “Nurussalam”, dapat dipilah sebuah sub tema penting yaitu: “Organisasi Masyarakat (ORMAS) sebagai Kelompok Kepentingan (interest group) sekaligus lembaga politik di Era Demokrasi.” Dengan memperhatikan karakteristik, tujuan, dan proses pelaksanaan kegiatan “Majlis Dzikir SBY Nurussalam” nampak bahwa ada beberapa kata kunci yang dapat dijadikan landasan pemilahan ayat Al-Qur’an berdasarkan sistematika penafsiran Tafsir ayat sosial integratif, yaitu ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan konsep al-ummat, al-ukhuwwah al-islâmiyyah, dan al-ta’âwun, juga tema tentang: “komunikasi, dan strategi” secara umum sebagai sebuah entitas dakwah.

Dakwah sebagai komunikasi massa, sejalan dengan komunikasi politik yang lebih cenderung memanfaatkan komunikasi sebagai cara massif untuk menggalang massa. Dalam melakukan dakwah, dapat menggunakan berbagai metode, diantaranya: 1. Dakwah dengan metode ceramah (lisân al-maqâl); 2. Dakwah dengan metode keteladanan (Uswatun Hasanah atau bi al-hâl), 3. Dakwah dengan metode cerita dan kesejarahan (al-qishshah), 4. Dakwah dengan metode wasiat (washaya), 5. Dakwah dengan metode dialogis (al-hiwâr), 6. Dakwah dengan metode musyawarah mufakat (al-syûrâ baina rijâl al-mujtamâ’ atau muktamar organisasi), 7. Dakwah dengan metode zikir dan spritualitas (al-dzikir wa tazkiyyatu al-qalb).

Makna al-ummat bisa dimaknai sebagai “Negara bangsa” dan dalam konteks ini adalah Republik Indonesia. Keberlangsungan al-ummat sebagai Negara ini adalah mensyaratkan diantaranya: melakukan “perbaikan” (ishlah) dan “taqwâ” (menjaga diri dalam nilai-nilai moral dan etika untuk memperoleh petunjuk Tuhan dan kebenaran beragama), juga tidak takabur atau sombong dengan tidak membuat sistem yang mengarah kepada sikap tirani.

Al-ukhuwwah al-islâmiyyah (persaudaraan dalam islam), tidak melulu didasarkan atas landasan agama semata, tetapi karena faktor kesamaan lain yang bersifat non-agama. Walaupun persaudaraan karena landasan agama dan sikap ihsân akan menjadi lebih kuat nilai ikatan persaudaraannya. Juga mengharuskan adanya sikap ishlah, tidak saling menjelekan, tidak berburuk sangka, serta saling berusaha untuk ta’âruf / mengenal. Ta’âruf ini dapat bermakna objektivisme teosentris, resiprositas, dan komunikasi dialogis egaliter.

Makna Ta’âwun dalam islam, mengandung dua sisi: kepentingan manusia dan “kepentingan” Tuhan. Kepentingan Tuhan adalah terlaksananya sistem tatanan hidup universal, seperti konsep keadilan, dan pemberdayaan ekonomi kaum lemah, dan sebagainya.

________________________________________________

[1] Lihat, Firmanzah; Marketing Politik antara pemahaman dan realitas, (Yayasan Obor Indonesia: Jakarta: 2008), cet.2, h. 132

[2] Dadang Kahmad; Sosiologi Agama, ( Rosda Karya: Bandung, 2006), cet. 4, h.194.

[3] Lihat: S.P. Varma; Teori Politik Modern, (PT.RajaGrafindo Persada: Jakarta: 2007), h.154-155.

[4] Sebuah  metode  tafsir yang mencoba mengkolaborasikan antara paradigma ilmiah (scientific paradigm) dengan paradigma tafsir Alquran. Hasan Hanafi menyatakan, bahwa tafsir Alquran yang benar adalah tafsir yang merupakan anak zamannya dengan ditandai  adanya pergumulan kekuatan sosial, dan mengkaji teks mengharuskan  memahami psikologi sosial. Hasan Hanafi; Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat, (Nawesea Press: Jogjakarta, 2007), diterjemahkan dari manâhij al-tafsïr wa mashâlih al-ummat dan dari makalah qadlâyâ ‘Arâbiyah, cet.1, h. 69 & 72.

[5] Miriam Budiardjo (1977); Dasar-Dasar Ilmu Politik, (PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2004), cet.26, h. 162

[6] Gabriel A. Almound ,1978, Comparative Politic, dalam: Mohtar Mas’oed; Perbandingan Sistem Politik, (Gajah Mada University Press; Yogyakarta, 2006), h. 55

[7] Wawancara dengan pengurus Majlis Dzikir SBY Nurussalam pada bulan Desember 2011.

[8] Adapun metode komparatif (al-manhaj al-muwâzan; al-muqâran) yang telah dilakukan oleh para pakar tafsir Alqur’an adalah bertujuan: Pertama, menyingkap realitas melalui tawaran berbagai ide atau dalil. Kedua, menyingkap tentang mufasir yang terpengaruh oleh perbedaan mazhab, dan menyingkap para mufasir yang mengungkap  tentang berbagai ide atau mazhab tertentu yang berbeda. Lihat: Muhammad Ali Iyâzî; al-mufassirŭn: Hayâtuhum wa manhajuhum, ( muassasat al-thibâ`at  wa  al-nasyr wizârat al-tasqâfat al-irsyâd al-islâmî, Teheran, 1373 H), h. 51

[9] Hans Wehr; A Dictionary of Modern Written Arabic, (Spoken Language Services Inc, Ithaca, New York; 1976) editor: J. Milton Cowan, cet.iii, h. 25

[10] Hans Wehr; A Dictionary of Modern Written Arabic, h. 25-26

[11] M.Quraish Shihab; Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Mizan; Bandung, 2007), cet.xix, h. 325 & 328

[12] Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an: tafsir sosial berdasarkan konsep-konsep kunci, h. 482

[13]

[14]

[15]

[16] Lihat: Munawir Sjadzali (1990); Islam dan Tata Negara: Ajaran, sejarah, dan Pemikiran, (UI Press; Jakarta, 1993), cet.v, h. 15-16

[17]Lihat: Deddy Ismatullah dan Asep AS. Gatara (2006); Ilmu Negara dalam Multi Perspektif: Kekuasaan, Masyarakat, Hukum, dan Agama, (Pustaka Setia; Bandung, 2007), cet ii, h. 207

[18] وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ ﴿٣٨﴾. فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ ﴿١٥٩﴾ قَالَتْ يَا أَيُّهَا المَلَأُ أَفْتُونِي فِي أَمْرِي مَا كُنتُ قَاطِعَةً أَمْراً حَتَّى تَشْهَدُونِ ﴿٣٢﴾

[19] Hans Wehr; A Dictionary of Modern Written Arabic, h.9

[20]Lihat: M.Quraish Shihab (1992); Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan masyarakat, (Mizan; Bandung, 1995), ce.ix, h.357-358

[21] sikap ihsân adalah berbuat baik melebih dari yang seharusnya dilakukan dan dilandasi dengan rasa ikhlas karena Allah serta tanpa pamrih.

[22] Lihat: Kuntowijoyo; Identitas Politik Umat Islam, ( Mizan; Bandung, 1997), cet.2, h.92-94

[23] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُحِلُّواْ شَعَآئِرَ اللّهِ وَلاَ الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلاَ الْهَدْيَ وَلاَ الْقَلآئِدَ وَلا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّن رَّبِّهِمْ وَرِضْوَاناً وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُواْ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَن تَعْتَدُواْ وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٢﴾

[24] Lihat: Kuntowijoyo; Identitas Politik Umat Islam, h. 98-99

[25] Dawam Rahardjo; Ensiklopedi Al-Qur’an: tafsir sosial berdasarkan konsep-konsep kunci, (Paramadina; Jakarta, 2002), cet.2, pada tema “taqwa”.

[26] لَن تَنَالُواْ الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيمٌ ﴿٩٢﴾

[27] Ayat yang menunjukan bahwa orang yang melakukan pengrusakan lingkungan adalah termasuk orang  fasik, misalnya dalam Q.S. al-Baqârah [2]:26-27.

[28] Harifuddin Cawidu; Konsep Kufr dalam Alqur’an, (Disertasi IAIN Jakarta; 1989), h. 80

[29] Harifuddin Cawidu; Konsep Kufr dalam Alqur’an…, h. 81

[30] Harifuddin Cawidu; Konsep Kufr dalam Alqur’an…, h.83

[31] ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ﴿١٢٥﴾

[32] Achmad Mubarok; Psikologi Dakwah, (Pustaka Firdaus; Jakarta, 2001), h. 183

[33] Jalaluddin Rahmat; Islam Aktual, (Mizan; Bandung, 1996), h. 83.

[34] Jalaluddin Rahmat; Etika Komunikasi Perspektif Religi, Seminar di Perpusnas; Jakarta, pada tanggal 18 mei 1996.

[35] Yunan Yusuf; Dakwah bil Hal, (Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan IAIN Syarif Hidayatullah; Jakarta, 2001), vol.3, no.2.

[36] Syaikh Musthofa Mashur; Fikih Dakwah, (al-I’tisham Cahaya Umat; Jakarta, 2000), ed. Lengkap, h. 98

[37] لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُوْلِي الأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثاً يُفْتَرَى وَلَـكِن تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ ﴿١١١﴾

[38] Abu Abdillah bin Furaihan; al-Ajwibah al-mufîdah ‘an al-as`ilah al-manâhij al-jadîdah, (Surakarta; Yayasan Madinah, 1997), )terjemahan), h. 31

[39] Lihat: M.Quraish Shihab; Tafsir al-Mishbah, (Lentera hati; Jakarta, 2000), jilid 2, h. 584

[40] Sayyid Muhammad Tanthawi; Adab al-Hiwar fî al-islâm, (Dar al-Nahdah; Mesir), terjemah dari penerbit: Azan; Jakarta, cet.1, h. 18

[41]Lihat:  M.Quraish Shihab (1996); Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Mizan; Bandung, 2007), cet.xix, tema musyawarah

[42] M.Quraish Shihab (1996); Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai….., h. 481

[43] فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ ﴿١٥٩﴾

[44] Lihat: Abu al-Qasim al-Qusyairi (438-595 H); al-Risâlah al-Qusyairiyah fî ‘ilmi al-Tasawwuf,  (Dar al-Khair; tt, ttp), h.82-83

[45] Thaha: 14: إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي ﴿١٤﴾

[46] Lihat: Abu al-Qasim al-Qusyairi (438-595 H); al-Risâlah al-Qusyairiyah…., h. 221

[47] M.Quraish Shihab (1998); Menyingkap Tabir Ilahi: al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an, (Lentera Hati; Jakarta, 2006), cet. viii, h. xl

[i] Penulis adalah salah satu Tenaga Pengajar di Yayasan Pondok Pesantren Hasan Jufri, Pulau Bawean, Kabupaten Gresik

Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *