ASWAJA MUDA BAWEAN

Kumpulan Hasil-Hasil Bahtsul Masail via Kajian Fikih Terapan [KFT]

KISWAH

Deduksi dan Induksi: Dialektika Takhrij Hukum Fiqih

25 Mins read

Abstrak:

Logika sains meniscayakan dialektika induksi-deduksi demi perkembangan ilmu pengetahuan. Induksi dan deduksi digunakan bergantian sebagai jalan untuk menemukan teori maupun menguji kebenaran teori yang ditemukan, sehingga pengetahuan-pengetahuan maupun teori-teori baru terus didapatkan dan diuji untuk mendapatkan kebenaran terkini demi kemajuan. Dalam hal ini pengetahuan tentang hukum Islam, fiqh, juga menyusuri jalan yang serupa, walaupun mungkin tidak segiat yang terjadi dalam ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial. Mungkin karena itulah di dalam wacana pemikiran hukum Islam, induksi jarang sekali dibicarakan, sementara deduksilah yang mendominasi pembahasan. Tulisan ini menjelaskan bagaimana deduksi dan induksi bergantian memainkan peranan masing-masing sehingga berkembanglah pemikiran hukum Islam. Tulisan ini menyimpulkan bahwa induksi menghasilkan rumusan-rumusan yang digunakan sebagai landasan deduksi di dalam berbagai tahapan proses penalaran hukum. Induksi lengkap digunakan untuk memastikan teks sumber hukum ilahiyah (wahyu), sedangkan deduksi tak-lengkap digunakan untuk merumuskan prinsip-prinsip hukum yang digunakan untuk menghadapi kasus yang tidak diliput oleh sumber hukum wahyu. Induksi tak-lengkap ini menghasilkan rumusan al-qawa’id al-fiqhiyah yang fungsinya adalah sebagai landasan deduksi bagi fiqh baru (furu’) baru yang memiliki watak yang sama dengan fiqh (furu’) yang sudah ada.
Kata kunci: istiqra’, istidlal, dalil, al-qawa’id al-fiqhiyah, al-Juwayni, al-Ghazali, al-Suyuti, pengetahuan a priori.

PENDAHULUAN

Di dalam Islam, hukum didefinisikan sebagai hukum Tuhan. Tuhan memberikan wahyu berupa al-Qur’an dan Sunnah (hadis). Dengan cara deduktif (istidlal), dari kedua sumber itu dihasilkan fiqh atau biasa disebut dengan Hukum Islam. Artinya, pedoman tingkah laku manusia diambilkan dari firman Tuhan, dan hal itu meniscayakan penggunaan deduksi. Walaupun seperti itulah posisi paradigmatis di dalam Islam, tetapi bukan berarti induksi kehilangan tempat berperan. Perkembangan ilmu pengetahuan dipastikan mengandalkan dialektika antara deduksi dan induksi. Dalam hal ini, perkembangan ilmu pengetahuan tentang hukum Islam bukanlah perkecualian.

Sepinya pembahasan tentang peranan induksi dengan jelas bisa ditunjukkan oleh kenyataan bahwa di dalam literatur usul al-fiqh, kata istiqra’ sebagai cara menemukan hukum tidaklah dikenal. Metode istiqra’ tidak termasuk dalam sebelas adillah shar’iyah atau sumber dan metode hukum yang biasa dibahas. Istiqra’ dalam arti adillah hanya disebut sepintas di dalam sedikit kitab kuno seperti al-Ibhaj. Tampaknya sifat deduktif dari arus utama pemikiran hukum Islam menyebakan perhatian hanya ditujukan kepada deduksi saja. Dengan pendekatan ilmu logika, yang membagi induksi menjadi induksi lengkap dan induksi tak-lengkap, tulisan ini akan mengisi kelangkaan bacaan mengenai peranan induksi dalam pemikiran hukum Islam. Teori induksi akan digunakan untuk melihat dan memaknai apa yang telah terjadi di dalam tradisi pemikiran hukum Islam selama ini dan menunjukkan bagaimana penalaran deduktif hukum Islam melibatkan induksi dalam berbagai tingkat kebutuhan secara signifikan. Induksi berperan dalam dua tugas yang bertolak belakang, yaitu pembakuan sekaligus pengembangan dalam tradisi pemikiran hukum Islam.

ANTARA DEDUKSI DAN INDUKSI

Baik deduksi maupun induksi adalah inferensi atau cara penarikan konklusi. Inferensi adalah mendapatkan suatu proposisi dari satu atau lebih proposisi, sedangkan proposisi yang diperoleh mestilah dibenarkan oleh proposisi atau proposisi-proposisi tempat menariknya. Proposisi yang diperoleh ini disebut dengan konklusi, sedangkan proposisi-proposisi tempat menarik konklusi itu disebut premis.

Secara khas, para pemikir epistemologi mengemukakan tiga pertanyaan pokok, yaitu; (1) “Apakah landasan pokok dari pengetahuan?” (2) “Sampai seberapa jauh kita bisa yakin bahwa kita mengetahui?” (3) “Apakah pengetahuan kita ada batasnya, yang secara rasional kita tak mungkin mengetahui hal di sebaliknya?”
Perdebatan tentang pertanyaan pertama terutama berkenaan dengan peranan relatif dari akal biasa dan persepsi melalui indera. Berpegang pada kenyataan bahwa dua jalan pengetahuan ini adalah yang paling diandalkan, sebuah teori pengetahuan bisa diklasifikasikan menjadi rasionalis atau empirisis. Filosof yang percaya bahwa akal biasa adalah dasar asasi dari pengetahuan, dia adalah seorang rasionalis. Apabila dia menekankan pentingnya peranan indera, maka dia disebut seorang empirisis. Descartes (1596-1650), yang tampaknya tidak pernah lelah memperingatkan agar orang tidak mengandalkan indera, adalah seorang rasionalis. David Hume (1711-1776), filosof Inggris abad ke 18 yang tak jemu-jemu menandaskan bahwa tidak ada barang atau fakta yang bisa diketahui kebenarannya tanpa daya tarik untuk indera, adalah seorang empirisis.

Dengan demikian di dalam wacana filsafat ilmu dikenal dua aliran yang bertolak belakang, yaitu realisme dan empirisisme. Deduksi adalah andalan kaum rasionalis sedangkan induksi adalah andalan kaum empirisis. Kedua golongan itu juga bisa dibedakan dari segi jenis pengetahuan yang mereka andalkan. Dalam teori pengetahuan, titik pertama yang mencolok adalah perbedaan yang tajam antara dua macam pengetahuan yang lazim disebut pengetahuan a priori dan pengetahuan empiris. Pengetahuan yang didapatkan melalui observasi baik terhadap dunia luar (melalui indera) maupun terhadap diri sendiri (introspeksi) disebut dengan pengetahuan empiris. Akan tetapi sebagian pengetahuan bisa didapatkan cukup hanya dengan memikirkannya saja. Inilah yang disebut dengan pengetahuan a priori. Contoh-contoh bisa didapatkan pada logika dan matematika. Untuk mengetahui bahwa 5+7=12 orang tidak perlu nyata-nyata mengambil 5 barang dan 7 barang lalu mengumpulkannya kemudian menghitungnya untuk mendapatkan hasil penjumlahan. Itu bisa diketahui hanya dengan memikirkannya saja.
Pengetahuan a priori, memang menonjol dalam bidang matematika dan logika, akan tetapi pemakaiannya tidak terbatas di dua bidang itu. Sebagai contoh, semua orang tahu bahwa sebuah benda yang sama tidak mungkin memiliki dua warna yang berbeda di seluruh permukaannya dalam waktu yang sama, dan bahwa sebuah pemikiran tidaklah memiliki bentuk (jasmaniah). Dalam hal ini, para filosof bisa dikelompokkan ke dalam dua golongan, apakah mereka tergolong rasionalis ataukah empirisis, tergantung pada jenis pengetahuan yang lebih mereka tekankan, apakah pengetahuan a priori ataukah pengetahuan empiris. Posibilitas dari metafisika tergantung pada pengetahuan a priori, karena pengalaman manusia dalam bidang ini tidak memadai untuk dijadikan pijakan generalisasi bagi kecenderungan-kecenderungan metafisik. Istilah a priori meliputi baik proposisi-proposisi yang self-evident, yaitu yang harus dipandang sebagai benar karena memang seharusnya begitu, maupun proposisi yang ditarik dengan inferensi dari proposisi-proposisi yang juga self-evident. Dalam kaitan ini, kaum rasionalis mementingkan pengetahuan a priori, sedangkan kaum empirisis menjunjung tinggi pengetahuan empiris, dengan menekankan unsur-unsur a posteriori, yaitu unsur-unsur yang berasal dari pengalaman.

INDUKSI DAN PROBLEMANYA

Ada perbedaan penting antara deduksi dan induksi. Keduanya adalah inferensi, tetapi deduksi bertolak dari yang lebih umum (more general) kepada yang kurang umum (less general). Sebaliknya, induksi bertolak dari yang kurang umum menuju ke yang lebih umum. Induksi dalam bentuk-bentuknya yang lebih karakteristik adalah persoalan generalisasi empiris, dari segi bahwa karena sesuatu dibuktikan benar dalam sejumlah kasus yang diobservasi, tampaknya ia akan benar pula dalam kasus-kasus serupa yang belum diobservasi. Kesimpulannya belum pasti benar (kecuali dalam beberapa kasus khusus), tetapi bisa saja sangat mungkin, dan seluruh ramalan rasional tentang masa depan tergantung kepada inferensi seperti ini. Induksi telah melahirkan problem yang sangat serius bagi ahli logika dan umumnya para filosof. Inferensi dalam induksi bukan sekadar soal empiris, ia juga memungkinkan meramalkan masa depan, tetapi sebetulnya observasi terhadap masa depan itu secara empiris belum dilakukan. Kegunaan penuh dari induksi adalah untuk membuat kesimpulan dari apa yang belum diobservasi. Oleh karena itu prinsip a priori ala kadarnya tentang dunia ini diperlukan agar induksi menjadi sah. Prinsip itu harus cocok untuk membenarkan perkiraan bahwa apa yang terjadi pada kasus-kasus yang telah diobservasi akan terjadi pula pada kasus yang belum diobservasi; namun para ahli logika kenyataannya tidak menemukan sebuah prinsip yang self-evident maupun yang memadai untuk mengabsahkan inferensi-inferensi induktif. Prinsip yang paling lazim diperlukan adalah bahwa setiap perubahan memilik sebab, tetapi hal ini banyak diperselisihkan apakah itu memang diperlukan atau memadai untuk mengabsahkan induksi. Arti dari “sebab” itu sendiri juga mengundang aneka ragam pandangan. Karena itu keabsahan induksi adalah salah satu problem yang paling berat dari logika. Kenyataan bahwa orang harus menggunakan induksi untuk memiliki ilmu pengetahuan apa saja adalah bukti bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa semata bersifat empiris (bahkan di mana ia tidak menggunakan matematika), tetapi tidak bisa dikatakan bahwa penyimpulan induktif mengikuti premis-premisnya dengan cara yang sama pastinya dengan konklusi pada deduksi.
Sebagian besar proposisi yang dikatakan sebagai empiris tidaklah diabsahkan semata oleh observasi, tetapi juga bersama dengan induksi. Ini berlaku untuk semua kesimpulan dari ilmu pengetahuan, sebab proposisi-proposisi itu tidak pernah merupakan statemen dari hanya sebuah fakta yang diobservasi, akan tetapi merupakan generalisasi dari apa yang biasanya terjadi atau merupakan inferensi dari generalisasi-generalisasi itu. Hal ini juga berlaku untuk semua penilaian kita yang lumrah terhadap objek fisik, karena orang selalu membaca lebih banyak daripada yang nyata-nyata diobservasi.
P. Hardono Hadi mengatakan bahwa tidak semua induksi menimbulkan problem. Induksi, yang didefinisikannya sebagai penalaran dari contoh-contoh partikular ke kesimpulan umum, terbagi menjadi induksi lengkap dan induksi tak-lengkap. Pembagian ini berdasarkan jumlah dari contoh-contoh tersebut. Induksi lengkap berarti penalaran dari semua contoh yang ada menuju generalisasi, sedangkan induksi tak-lengkap berarti penalaran dari tak-semua contoh yang ada menuju generalisasi.
Hadi mengatakan bahwa induksi lengkap hanya membutuhkan sedikit keterangan saja, sebab “penalaran” seperti ini hanyalah merupakan arti yang paling kendor. Kalau orang meneliti bahwa setiap rumah di satu desa memiliki pohon kelapa, maka ia dapat membuat pernyataan umum bahwa “semua rumah di desa ini mempunyai pohon kelapa”. Generalisasi ini tidak bisa diragukan ataupun diperdebatkan. Tetapi arti “penalaran” di sini sangatlah lemah. Sebab pernyataan ini hanyalah mengenai apa yang diketahuinya. Ia tidak mengembangkan pengetahuannya, tetapi hanya menyimpulkannya saja. Maka induksi lengkap seperti ini, di samping tidak mempunyai kekecualian, juga tidak menarik, sebab bila pengetahuan hanya sebatas itu mustahil ada kemajuan.
Induksi tak-lengkap lebih penting dan juga lebih memusingkan. Sebab penalaran ini melibatkan suatu proses melewati pertimbangan “dari beberapa” ke semua. Logika terus-terusan memberi peringatan terhadap proses seperti ini. Namun, menggunakan induksi tak-lengkap berarti menyimpulkan dari observasi terhadap contoh-contoh, baik sedikit atau banyak tetapi tidak semua, bahwa suatu pernyataan umum mengenai kelas ini dianggap benar.
Sudah menjadi kebiasaan orang untuk menyatakan dengan penuh keyakinan bahwa “semua orang tertawa”, “semua anjing menggonggong” dan sebagainya. Sebenarnya tidak seorang pun pernah meneliti semua orang atau semua anjing. Penyelidikan mengenai semuanya pada umumnya tidak mungkin dilakukan. Hal ini merupakan sebab lain kenapa induksi lengkap secara umum tidak berguna. Tetapi jika kita belum mengamati semua contoh dari suatu jenis, bagaimana kita tahu dengan keyakinan bahwa mereka semua pasti memperlihatkan suatu ciri tertentu? Mengapa tidak ada anjing yang tak menggonggong atau manusia yang tidak tertawa?
Jika induksi lengkap dinyatakan hampir tidak berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, maka induksi tak lengkaplah yang diandalkan sebagai logika pengembangan ilmu pengetahuan. Ketika ada orang berani membuat teori yang didasarkan pada observasi atas gejala-gejala partikular, maka dia pada hakekatnya telah membuka jalan bagi pengujian-pengujian atas apa yang ia simpulkan. Fisika dan semua pengetahuan sistematis sangat mengandalkan induksi tak-lengkap. Kedokteran berbicara tentang sifat-sifat kuman malaria dan tipus; biologi berbicara tentang struktur normal sel manusia dan sebagainya. Tetapi tidak seorang pun pernah atau dapat memeriksa semua kuman tipus, semua sel, atau semua jenis tertentu. Bagaimana hanya dengan meneliti beberapa contoh saja dapat ditentukan sesuatu yang benar mengenai semuanya? Bagaimana cara membedakan suatu induksi yang valid dari generalisasi yang tergesa-gesa?
Pertanyaan ini dapat dirumuskan: dalam hal manakah kita telah mengikuti aturan-aturan yang benar dari bidang tertentu? Sebab generalisasi yang tergesa-gesa adalah melawan aturan utama induksi, yaitu bahwa satu contoh negatif saja cukup untuk menghancurkan sifat universal dari kesimpulan yang diambil. Logika sains seperti inilah justeru yang akan membangkitkan penelitian-penelitian ilmiah demi mengejar kebenaran tentang hukum-hukum umum dalam ilmu pengetahuan.

INDUKSI DAN PEMBAKUAN TEKS WAHYU DAN IJMA’
Di dalam Islam tidak ditemui pengkutuban teori ilmu pengetahuan dengan posisi diametral seperti dijelaskan di atas. Di dalam sejarah pemikiran Islam, tidak dijumpai pengelompokan antara kaum rasionalis dan empirisis dalam arti penuh seperti yang dikenal dalam filsafat Barat. Demikian juga, deduksi dan induksi tidak diposisikan sebagai lawan, melainkan sama-sama dipakai di dalam bidang masing-masing. Di dalam kajian Islam, induksi dikenal dengan istilah istiqra’, sedang induktif disebut istiqra’i. Induksi lengkap disebut dengan istiqra’ tamm, sedangkan induksi tak lengkap oleh al-Subki (w. 756 H.) dan al-Subki (w. 771 H.) disebut dengan istilah istiqra’ naqis atau oleh al-Razi (544-606 H.) dinamakan istiqra’ maznun. Pembicaraan tentang induksi sudah dimulai dalam fiqh setidaknya oleh al-Ghazali (w. 505/1111), tetapi pemanfaatannya sesungguhnya sudah dimulai sejak awal Islam, ketika kaum muslimin membakukan teks wahyu yang akan mereka gunakan sebagai pegangan hidup, termasuk sebagai sumber hukum.
Posisi yuristik di dalam Islam dibangun atas keyakinan bahwa Tuhan memberikan wahyu berupa al-Qur’an dan Sunnah (hadis). Dengan cara deduktif (istidlali), dari kedua sumber itu dihasilkan Hukum Islam. Apa yang dimaksud dengan al-Qur’an adalah kumpulan wahyu Allah berupa ayat dan surat dalam bentuk mushaf (buku) sebagaimana yang beredar di masyarakat Islam sehari-hari. Sedangkan Sunnah adalah berita tentang Nabi yang tercantum dalam kitab-kitab hadis yang juga beredar di kalangan mereka. Pada awal lahirnya Islam, teks-teks dari kedua sumber ini lebih banyak beredar secara lisan di masyarakat, dan sedikit saja dalam bentuk tulisan. Sejalan dengan kebutuhan pembukuan (dan pembakuan) maka dilakukanlah penelitian lapangan untuk memastikan teks-teks otentik yang dijadikan sumber ajaran Islam, termasuk di bidang hukum. Sebuah rumus bekerja yang dipakai saat itu oleh panitia pembukuan al-Qur’an adalah bahwa setiap ayat harus dibenarkan oleh dua bukti, yaitu hafalan dan catatan. Sedangkan langkah untuk mendapatkan keyakinan tentang otentisitas hadis pada saat itu adalah mewajibkan ditemukannya seorang saksi pendukung bagi seseorang yang mengaku memiliki sesuatu rekaman hadis Nabi. Beberapa abad sesudah itu upaya pemastian otentisitas hadis terus berlangsung dan dihasilkan koleksi dalam al-kutub al-sittah (kitab yang berjumlah enam buah), dua di antaranya, Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim memiliki otoritas tertinggi sebagai kumpulan hadis yang paling otentik dan otoritatif.
Dengan demikian, saat ini umat Islam di seluruh dunia telah sepakat tentang sumber hukum yang pertama dan utama, yaitu al-Qur’an dan hadis atau sunnah yang dikumpulkan melalui serangkaian panjang penelitian lapangan. Mereka sepakat bahwa kedua sumber itu sudah selesai dalam soal otentisitasnya dan bahwa isinya sudah tidak mengalami penambahan maupun perubahan. Dari kedua sumber itulah dideduksi hukum yang disebut dengan fiqh atau furu’.
Meskipun sumber fiqh utama telah disepakati, bukan berarti fiqh bermakna keseragaman. Perbedaan, perselisihan bahkan pertentangan pendapat sudah merupakan hal yang lumrah dalam fiqh. Namun di tengah kancah perbedaan pendapat, terjadi medan-medan kesepakatan juga, yang disebut ijma’ yakni kesepakatan fuqaha’. Materi-materi ijma’ juga didapatkan melalui penelitian lapangan. Ijma’ bagi para penganutnya – yang merupakan mayoritas besar kaum muslimin — merupakan ketentuan yang mengikat seluruh generasi. Keputusan ijma’ – setidaknya dalam konsep klasik – tidak bisa diubah sepanjang masa sehingga ijma’ itu menjadi dasar praktis untuk menangani kasus-kasus sebagai diputuskannya.
Dengan penelitian lapangan dan penyimpulan secara induktif, kaum muslimin telah mendapatkan tiga buah sumber hukum yang menduduki otoritas tertinggi. Al-Qur’an dan Sunnah disepakati secara bulat sebagai sumber hukum oleh kaum muslimin, sedangkan ijma’ hanya ditolak otoritasnya oleh golongan minoritas yang tidak signifikan. Golongan penolak otoritas ijma’ ini demikian kecilnya sehingga bisa diabaikan.
Dijelaskan sebelumnya bahwa induksi lengkap hampir-hampir tidak berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi ia mampu melahirkan kesimpulan yang bernilai kebenaran pasti. Apa yang didapatkan kaum muslimin yang berupa tiga buah sumber hukum, al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ pada realitanya adalah hasil dari induksi lengkap tadi. Dikatakan induksi lengkap karena dipastikan bahwa seluruh bahan yang diduga atau diyakini sebagai teks wahyu yang beredar di masyarakat telah diobservasi atau diteliti, dan kemudian dipastikan tingkat validitasnya. Seluruh ayat al-Qur’an sebagaimana termaktub dalam mushaf yang beredar di masyarakat muslim memiliki validitas tertinggi dengan derajat mutawatir, sementara memang dijumpai teks-teks lain atau variasi cara membaca (qira’at) yang hanya berderajat ahad maupun shadhdh (unik) yang mereka kesampingkan sebagai bagian otentik dari al-Quran. Untuk Sunnah atau hadis, di samping dikenal derajat mutawatir, sebagai derajat validitas tertinggi, juga ada derajat-derajat di bawahnya, mashhur, ‘aziz, ahad maupun gharib. Itu hanya klafisifikasi kasar untuk hadis, yang di bawahnya masih terdapat klasifikasi yang amat rinci. Kaum muslimin telah mengembangkan klasifikasi tersebut berikut otoritas masing-masing sebagai pedoman hidup dan sumber hukum. Sunnah atau hadis yang termaktub di dalam buku-buku kumpulan hadis yang beredar di dalam masyarakat sudah mendapatkan penilaian validitasnya, walau ada perselisihan di kalangan para ahli mengenai tingkat nilai dari sebagian hadis. Jadi, al-Qur’an, Sunnah atau hadis dan ijma’ memang tidak mungkin dikembangkan lagi, hanya ada satu kemungkinan jika kaum muslimin terbukti menyepakati materi ijma’ baru atas kasus hukum baru yang muncul dalam perkembangan zaman. Kaum muslimin mencapai keyakinan dengan kepastian optimal atas otoritas ketiganya dan meyakini bahwa ketiganya bukan merupakan obyek yang bisa dikembangkan. Ayat-ayat al-Qur’an sudah tidak bertambah lagi, demikian pula tidak ada lagi penemuan teks-teks yang bisa dianggap sebagai teks sunnah. Sehingga telah diyakini bahwa teks dari kedua sumber itu sudah final.
Sisi yang berguna dari penggunaan induksi lengkap di sini adalah tercapainya kepastian yang sudah tidak diperdebatkan lagi. Dengan demikian, di samping secara imani, keyakinan kaum muslimin atas validitas dan dengan demikian otoritas dari ketiga sumber di atas sepenuhnya bisa dibenarkan oleh logika sains. Seluruh materi teks al-Qur’an maupun hadis yang beredar di masyarakat, sebagai data partikular (juz’iyat) dipastikan telah diobservasi dan semua catatan serta hafalan dipastikan juga telah diobservasi. Apa yang telah berlangsung dalam proses ini adalah induksi lengkap dengan seluruh kelebihan dan kekurangannya menurut logika. Tetapi kali ini, kekurangan itu justeru menjadi kekuatan dari hasilnya, yaitu sumber hukum yang tidak perlu diperdebatkan lagi keberadaannya.

INDUKSI MENYIMPULKAN PRINSIP, JIWA DAN TUJUAN HUKUM
Aturan hukum di luar yang menjadi ijma’ tentu jauh lebih banyak dan tersebar dalam seluruh bab fiqh. Dalam satu periode sejarah pemikiran hukum Islam, sekali lagi para ulama berangsur-angsur mencapai kesepakatan tentang banyak rumusan kaidah umum yang disarikan dari aturan-aturan fiqh. Kaidah-kaidah umum itu dikenal dengan al-qawa’id al-fiqhiyah atau kaidah-kaidah fiqh. Rintisan dari kesepakatan ini dimulai sejak abad III H.
Ilmu al-qawa’id al-fiqhiyah ini berisi qawa’id (maxims) atau kaidah-kaidah yang disimpulkan dari banyak ketentuan fiqh (furu’) yang senada. Aturan-aturan fiqh yang berserak dan mencakup segala cabang hukum, ibadah, transaksi, pidana, hukum antar golongan, perdata dan sebagainya, oleh para ulama diupayakan untuk dilakukan generalisasi, disederhanakan dalam arti dikumpulkan berdasarkan kelompok-kelompok tertentu menjadi kaidah umum. Kaidah الضرريزال (bahaya harus disingkirkan) dan kaidah cabangnya yang berbunyi الضرورات تبيح المحظورات (keadaan terdesak membenarkan orang melakukan larangan) disimpulkan dari aturan-aturan spesifik dari fiqh yang membolehkan orang “melanggar ketentuan” dalam keadaan terpaksa. Misalnya, boleh memakan daging babi dalam keadaan darurat, dibolehkan melihat aurat untuk kepentingan pengobatan, boleh menangkap perusuh meskipun berakibat melukainya bahkan membunuhnya dan membedah mayat perempuan untuk menyelamatkan bayi yang dikandungnya. Ketika tidak ada alasan, hal-hal tersebut tidak boleh dilakukan. Pengkaidahan ini melibatkan penelitian terhadap kasus-kasus spesifik untuk dilakukan generalisasi guna membentuk prinsip-prinsip hukum. Dalam soal ini, prinsip yang hendak ditegakkan adalah prinsip “hukum yang menyelamatkan”. Masih ada empat prinsip yang lain, yaitu prinsip pentingnya motif perbuatan hukum, prinsip kepastian hukum, prinsip kemudahan aturan, dan prinsip akomodasi terhadap praktek kebiasaan lokal. Agaknya rumusan-rumusan kaidah dalam al-qawa’id al-fiqhiyah ini adalah bentuk kesepakatan terakhir di antara umat Islam di tengah kancah perbedaan yang menjadi karakteristik fiqh.
Al-qawa’id al-fiqhiyah tidak disusun sekaligus, tidak pula oleh satu dua orang, melainkan melibatkan banyak ahli dalam beberapa abad dimulai sejak akhir abad III H. Satu dua orang memulainya, kemudian generasi berikutnya meneruskannya dengan cara menambahkan kaidah baru atau menyempurnakan kaidah lama. Dalam kurun waktu beberapa abad itulah kemudian terkumpul ratusan kaidah yang dikelompokkan ke dalam bab-bab sesuai dengan materinya.
Penelitian dalam pembakuan teks al-Qur’an dan hadis serta materi ijma’ di satu pihak dengan penelitian pada penyusunan al-qawa’id al-fiqhiyah di pihak lain memiliki karakter berbeda. Yang pertama relatif lebih sederhana, di mana materi rumusan telah didapatkan di lapangan, tinggal menemukan kesepakatan-kesepakatan saja. Apa yang disebut penelitian di sini hanya terbatas pada pencocokan dan pemastian akurasi data. Sedangkan penelitian pada kasus kedua tidak untuk menemukan teks-teks yang sudah tersedia di masyarakat seperti itu, tetapi guna menemukan gagasan inti dari fiqh untuk dituangkan dalam rumusan kaidah umum. Perumusannya melalui penalaran penuh karena melewati kegiatan meneliti ketentuan fiqh di semua bidang untuk menemukan gagasan yang ada di baliknya yang mampu mempersatukan ketentuan-ketentuan itu yang bisa disebut sebagai “jiwa hukum” itu sendiri. Selanjutnya ada keharusan disusunnya rumusan dalam kalimat yang cermat dan setepat mungkin melukiskan kasus-kasus partikular (juz’iyat) yang dikandungnya. Di sini para pemikir berkesempatan merumuskan presepsi dan penaknaan mereka sendiri atas aturan-aturan fiqh yang mereka kumpulkan. Oleh karena itu, rumusan-rumusan tersebut bisa dan terbukti mengalami modifikasi dari masa ke masa sehingga mencapai kesempurnaan sebagaimana telah ditunjukkan dalam sejarah al-qawa’id al-fiqhiyah itu sendiri. Evolusi ini memakan waktu beberapa abad dan selalu saja dimungkinkan lahirnya kaidah-kaidah baru yang sebelumnya belum terpikirkan.
Sepintas tampaklah di sini watak dari induksi tak-lengkap. Seseorang membuat teori dari yaitu rincian-rincian fiqh yang diamatinya, yang dirumuskannya ke dalam pernyataan-pernyataan umum yang masih terbuka bagi verifikasi maupun falsifikasi oleh pemikir lain di masa lain. Hal ini berbeda dengan watak hasil induksi lengkap yang berupa pembakuan ayat al-Qur’an, hadis maupun ijma’ yang sekali dibakukan sudah tidak menerima modofikasi lagi. Dalam urusan induksi tak lengkap, ada problema yang perlu dicermati seperti dijelaskan para ahli logika.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa problema terberat dari induksi adalah soal keharusan adanya landasan prinsip a priori atau yang self-evident agar kongklusinya memiliki nilai kebenaran. Problema induksi ini dijelaskan dengan sangat rinci dan gamblang sekali oleh A. F. Chalmers. Chalmers mengakui peranan penting dari induksi dalam perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi mengecam mereka yang disebutkannya sebagai kaum induktivis naif yang bersikukuh bahwa induksi dan bukan deduksi yang merupakan prosedur mendapatkan pengetahuan yang bisa diandalkan. Chalmers hendak menunjukkan bahwa induksi tidak bisa bekerja sendiri, keduanya sama-sama penting.
Salah satu satu contoh yang diambil Chalmers untuk menjelaskan pentingnya induksi adalah bahwa berdasarkan sejumlah pengamatan disimpulkan bahwa semua logam memuai jika dipanaskan. Kesimpulan ini diambil dengan cara induksi. Oleh karena itu, orang-orang memasang rel kereta api dengan celah pada semua sambungan agar tidak melengkung ketika rel menjadi panas misalnya akibat lama terkena sinar matahari. Di sini Chalmers merekonstruksi proses induksi-deduksi tentang ilmu sebagai berikut:

Fakta (induksi) hukum dan teori (deduksi) ramalan & penjelasan
Kaum induktif berpandangan bahwa kesimpulan induksi serta merta menjadi valid jika percobaan dilakukan dalam jumlah banyak dan dalam variasi kondisi yang luas. Chalmers mengkritik pandangan ini karena mereka tidak bisa menyebutkan berapa kali tepatnya jumlah yang banyak itu. Mereka juga tidak waspada ketika mengatakan dalam variasi kondisi yang luas itu bagaimana menentukan variabel kondisi yang berguna dan yang tidak berguna. Dalam kasus misalnya menyimpulkan bahwa air akan mendidih jika dipanaskan 100 derajat Celcius, apa dan bagaimana kualifikasi variasi kondisi yang berarti dan luas itu? Apakah perlu ada variasi dalam tekanan udara dan kemurnian air, cara dan waktu pemanasannya (pagi siang, malam dan sebagainya)? Sudah tentu jawabannya adalah “ya” untuk dua yang pertama, dan “tidak” untuk dua yang terakhir. Lalu apa dasar dari jawaban ini? Pertanyaan ini penting karena daftar variasi itu dapat diperluas tidak terbatas dengan menambahkan variasi-variasi selanjutnya, misalnya, variasi mengenai warna tempat air, identitas pembuat eksperimen, lokasi geografis dan sebagainya. Kecuali variasi-variasi “tidak perlu” yang dapat ditiadakan, jumlah observasi yang dibutuhkan untuk dapat melakukan penyimpulan yang sah akan tidak terbatas besarnya. Lalu, apa dasarnya sejumlah variasi dinyatakan “tidak perlu”? Tentu saja jawabannya adalah karena variasi yang mempunyai makna dapat dibedakan dengan jelas dari variasi yang tidak perlu dengan bantuan “pengetahuan teori tentang situasi” yang sudah dimiliki peneliti dan tentang berbagai macam pengoperasian mekanisme fisikal. Tetapi menerima hal ini berarti mengakui bahwa teori memainkan peranan vital “mendahului” observasi. Sayangnya, kata Chalmers, kaum induktivis naif tidak akan mengakuinya. Dengan penjelasan ini Chalmers sekali lagi menekankan bahwa induksi tidak menghasilkan apa pun tanpa adanya bantuan teori yang mendahului penelitian itu.

FUQAHA’ DAN KEWASPADAAN AKAN PROBLEMA INDUKSI
Chalmers menyebutkan kebutuhan akan landasan teori, sementara Ewing menamakannya prinsip a priori atau self-evident. Sayang sekali para ahli logika tidak menemukan sebuah prinsip yang self-evident maupun yang memadai untuk mengabsahkan inferensi-inferensi induktif. Dalam wacana hukum Islam, kedua istilah itu hanya disebut sebagai dalil. Tetapi tampaknya di dalam Islam tidak didapatkan kesulitan seperti yang ditemui oleh ahli logika. Para pemikir muslim dengan gampang memperlakukan wahyu sebagai teori atau prinsip a priori maupun self-evident itu untuk mengabsahkan hasil induksi yang mereka lakukan. Akan tetapi mengapa sebenarnya mereka menggunakan induksi? Berikut adalah penjelasannya.
Suatu analisis statistik telah dilakukan atas kitab Bidayat al-Mujtahid untuk mendapatkan data jumlah sumber hukum dan metode berfikir yang dikenal dalam usul al-fiqh. Kitab ini dipilih karena relatif bebas dari bias aliran dan selalu mengutip sumber-sumber yang diperlukan untuk mendukung pendapat hukum yang ditampilkan. Kitab ini juga sudah memuat semua bab fiqh. Ayat al-Qur’an yang dikutip di dalamnya berjumlah 560. Jika jumlah itu dikurangi dengan ayat-ayat yang dikutip ulang maka tinggal sekitar 500 ayat saja. Kebanyakan ayat ini digunakan untuk bagian ibadat termasuk zakat. Jadi sebenarnya tinggal kurang dari 100 ayat yang digunakan pada bab lain yang lebih kurang merupakan ¾ dari fiqh. Jumlah ini kebanyakan digunakan untuk mengatur masalah waris, pidana, perkawinan, perceraian dan soal-soal lain dalam hukum keluarga. Selanjutnya, kasus-kasus yang tidak diliput oleh al-Qur’an tentu saja dicarikan pemecahannya dalam Sunnah.
Rasio pemakaian Sunnah sama saja dengan rasio pemakaian ayat al-Qur’an, meskipun jumlah hadis hukum kira-kira tiga kali jumlah ayat hukum. Pengarang kitab tersebut, Ibn Rushd, telah mengutip hadis sebanyak 1.799 kali. Banyak di antaranya merupakan hadis yang sama namun dengan sanad yang berbeda. Ia hanya mengutip hadis dengan versi lain jika memang ada problema pemaknaan. Bisa diasumsikan bahwa ia telah mengutip hampir seluruh hadis yang representatif. Sekitar 10% dari hadis-hadis itu dikutip ulang. Hampir 1.200 hadis berkenaan dengan ibadah termasuk zakat. Sejumlah hadis berkenaan dengan perbudakan, hukum keluarga, yaitu perkawinan, perceraian, dan warisan. Maka tersisalah sekitar 300 atau 400 hadis berkenaan dengan mu’amalah dan hukum pidana. Terdapat juga sekelompok hadis tentang satu hal yang sama seperti warisan, hudud dan diyah. Maka tinggallah sejumlah sedikit saja hadis untuk soal-soal yang lain.
Selanjutnya, jumlah kasus hukum dengan ‘illah yang sudah dipastikan juga bisa dihitung. Kasus-kasus ijma’, istihsan dan maslahah mursalah juga terbatas, tidak lebih dari selusin untuk masing-masing. Survey terhadap kitab-kitab fiqh menunjukkan bahwa manakala ditemukan adanya ‘illah di dalam sumber wahyu dan ‘illah itu bisa dipakai untuk landasan berfikir, maka ‘illah itu benar-benar memang sudah ditemukan dan dipakai oleh fuqaha’. Proses ini tampaknya telah selesai pada abad kelima hijriyah, atau malahan lebih awal lagi.
Analisis di atas menunjukkan bahwa seluruh bidang hukum Islam yang memiliki landasan tekstual telah dikembangkan secara menyeluruh dan rapi oleh fuqaha’. Dalam bidang-bidang tersebut, hukum yang belum sempat diungkapkan secara eksplisit tetapi bisa dikembangkan melalu ijma’ maupun qiyas juga telah dikembangkan. Meskipun begitu, sesuai dengan teori hukum tradisional yang bekerja di atas teks yang menentukan setiap ketentuan yang dihasilkan harus memiliki kaitan dengan kandungan literal dari teks baik langsung maupun tidak langsung, nyatanya efek dari pengembangan hukum di atas hanya terbatas. Apa yang tersedia saat ini adalah suatu teori yang dirancang untuk menjaga keterkaitan antara hukum dengan teks ketika teori itu ternyata bekerja pada jumlah sumber yang terbatas. Pertanyaannya adalah bagaimana hukum tersebut bisa diharapkan untuk siap menangani wilayah lain dari kegiatan manusia dan perkembangan baru.
Satu-satunya cara agar hukum yang dikandung teks dapat dikembangkan hingga mencakup seluruh bidang kegiatan manusia adalah lewat prinsip umum dari hukum Islam. Prinsip seperti ini banyak ditemukan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Berangkat dari kasus-kasus hukum spesifik dalam fiqh, dan dengan meneliti ayat-ayat al-Qur’an serta hadis Nabi, pemikir hukum Islam bisa sampai pada prinsip umum hukum Islam. Bagi Nyazee, prinsip umum ini dibentuk secara induktif (istiqra’) dari berbagai kasus hukum spesifik, ayat dan hadis. Kandungan utama dari prinsip-prinsip ini adalah hikmah hukum, yang pada gilirannya akan menjadi jalan terbentuknya kajian tentang al-ashbah wa al-naza’ir. Ilmu al-ashbah wa al-naza’ir yang juga disebut dengan al-qawa’id al-fiqhiyah, terutama bab al-qawa’id al-khams al-asasiyah (panca kaidah asasi), merupakan penjabaran dari maslahah. Atau dengan ungkapan sebaliknya, seluruh fiqh bisa disimpulkan ke dalam panca kaidah tersebut, dan panca kaidah itu selanjutnya bisa disimpulkan ke dalam prinsip mengindahkan maslahah (i’tibar al-maslahah).
Akan tetapi maslahah mengandung kontroversi. Berbasis pada akal sehat, maslahah berpotensi untuk menjadi sumber hukum mandiri, dan hal itu bisa jadi tidak sesuai dengan garis utama posisi yuristik dalam Islam bahwa hukum adalah hukum Allah. Maka kemudian dicarilah jalan agar pengembangan hukum yang baru merupakan turunan dari fiqh yang sudah ada sebelumnya dari segi bahwa keduanya dipastikan memiliki alasan hukum yang sama, yang dikenal dengan ‘illah maupun hikmah. Apa yang kemudian ditemukan oleh para fuqaha’ adalah ilmu yang disebut al-ashbah wa al-naza’ir, atau yang lebih populer disebut dengan al-qawa’id al-fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh). Kaidah-kadiah fiqh adalah pengaturan prosedur menggunakan maslahah untuk memproduk fiqh (furu’) baru. Kaidah-kaidah itu berisi jiwa hukum yang mengikat banyak sekali aturan fiqh yang senada.
Penelitian terhadap ketentuan-ketentuan fiqh yang telah ada, yaitu hasil deduksi dari sumber-sumber wahyu, berusaha menemukan watak sebenarnya dari fiqh. Watak ini digunakan sebagai pemandu perumusan keputusan hukum hasil pengembangan fiqh baru. Kasus-kasus baru yang tidak disikapi oleh sumber-sumber wahyu bisa langsung diputuskan oleh akal dengan panduan kaidah-kaidah fiqh. Pengembangan kaidah-kaidah fiqh di dalam madhhab Shafi’i tampaknya merupakan kelanjutan dari gagasan al-Juwayni – Imam al-Haramayn (w. 478/1085) guru al-Ghazali – untuk mengembangkan qiyas dan ilmu tentang kaidah.
Jadi kaidah-kaidah fiqh bisa disebut dengan sari-sari fiqh. Terdapat beberapa ciri yang merupakan ciri-ciri penyimpulan induktif. Jika para ahli logika keabsahan induksi memerlukan prinsip a priori atau sel-evident atau teori, maka fuqaha’ menyebutkan keduanya sebagai dalil. Para fuqaha’ mengambil posisi yang sama, bahwa hasil istiqra’ tidak berguna tanpa topangan dalil. Walaupun begitu, kalaupun dalil itu didapatkan, maka hasil induksi hanyalah bernilai zanni, atau yang oleh ahli logika disebut dengan probabel. Zanni dalam istilah fuqaha’ bukanlah sekedar dugaan yang tidak bernilai, tetapi merupakan hasil yang harus dijadikan pijakan membuat keputusan hukum. Al-Razi menulis:
وهذاالنوع لايفيد اليقين لانه يحتمل ان يكون الوترواجبا بخلاف سائر الواجبات في هذاالحكم ولايمتنع عقلا أن يكون بعض أنواع الجنس مخالفا لحكم النوع الأخر من ذلك الجنس. وهل يفيد الظن أم لا؟ الأظهر أن هذاالقدر لا يفيد الا بدليل منفصل, ثم بتقدير حصول الظن وجب الحكم بكونه حجة لقوله صلى الله عليه وسلم “أقضي بالظاهر”
[kesimpulan ini tidaklah bernilai pasti sebab bisa saja salat witr sebenarnya berhukum wajib hanya saja memiliki ketentuan sendiri dibanding dengan salat-salat wajib lainnya dalam soal ini. Secara rasional tidaklah mustahil bahwa sebagian species dari satu genus bertentangan dengan hukum dari species lain dari genus tersebut. (Pertanyaannya kemudian adalah) apakah kesimpulan tersebut berkualitas zanni (sangat mungkin atau probabel benar) ataukah tidak? Tampaknya bernilai zanni pun tidak, kecuali ada indikasi yang berdiri sendiri (yang menunjukkannya). Kemudian jika diandaikan bahwa kesimpulannya memang bernilai zanni, maka hal itu wajib dipakai sebagai landasan hukum (hujjah) karena Nabi SAW bersabda, “saya mengambil keputusan atas dasar yang tampak”].
Yang penting digarisbawahi dari keterangan al-Razi ini adalah bahwa kesimpulan dari istiqra’ tak-lengkap bahkan tidak bisa mendongkrak probabilitas kecuali ada dalil yang berdiri sendiri.
Dengan contoh yang sama, al-Qadi al-Baydawi (w. 685 H.) menegaskan bahwa induksi adalah dasar hukum (al-dala’il) yang diperselisihkan (al-mukhtalaf fiha) akan tetapi diterima validitasnya (al-maqbulah). Sama dengan al-Razi ia mengatakan bahwa hasil induksi hanya bersifat zanni, tetapi wajib diamalkan berdasarkan hadis Nabi yang semakna dengan yang telah disebut, “نحن نحكم بالظواهر” (kami memutuskan berdasarkan apa yang tampak). Dalam fungsi ini semuanya sepakat bahwa semakin banyak kasus partikular yang diteliti dan saling mendukung, maka probabilitas kebenaran kesimpulannya semakin meningkat.
Adalah al-Suyuti (849-911 H.) yang berhasil mempertemukan kaidah-kaidah fiqh itu secara lengkap dengan dalilnya di dalam kitabnya yang monumental al-Ashbah wa al-Naza’ir. Sistematika masing-masing kaidah utama dalam Bab I adalah sebagai berikut. Pertama disebutkan nomor kaidah kemudian bunyi kaidah, lalu dalil-dalil tekstual pendukung kaidah yang diistilahkan dengan asl (harfiah berarti pokok atau dasar) atau dalil. Asl yang dipergunakan dalam Bab I ini seluruhnya memiliki tingkat kesahihan tinggi, sebab terdiri dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis dengan derajat sahih. Sebagai contoh, kaidah nomor 1 yang berbunyi الأمور بمقاصدها didukung tak kurang dari 10 hadis yang semakna tetapi dengan susunan redaksional dan kandungan isi yang berbeda-beda, dan tentu saja sanad yang berbeda pula. Disebut pertama kali hadis tentang makna penting niyyah (niat) yang sudah amat terkenal, yaitu إنماالأعمال بالنيات yang diriwayatkan oleh enam imam hadis utama dan rawi-rawi lainnya. Hadis-hadis lain misalnya tentang pahala yang akan diterima seseorang yang menghidupi isterinya jika ia memang berniat semata mengharapkan kerelaan Allah. Hadis lain menjelaskan Allah akan menanggung hutang seseorang yang memang sejak semula berniat untuk melunasinya yang ternyata sampai akhir hayatnya tidak mampu melakukannya. Sedangkan orang yang sejak semula tidak beriktikad baik, di akherat nanti Allah akan mengambil pahala kebaikannya untuk diberikan kepada orang yang berpiutang sampai hutang itu dianggap lunas.
Sesudah rangkaian dukungan tekstual ini, al-Suyuti menambahkan argumentasi untuk kian memperkuat gagasan tentang pentingnya niyyah (niat) dengan mengatakan telah diberitakan secara mutawatir bahwa para imam madhhab menjunjung tinggi arti penting hadis-hadis tentang niyyah tersebut, yang berarti pula mereka memandang penting kedudukan niat dalam agama.
Kaidah Bab I dan Bab II selalu disertakan dalilnya. Al-Suyuti mengakui ia harus berjuang keras untuk mendapatkan landasan teks wahyu seperti itu terutama untuk Bab I. Ia katakan bahwa hal itu bukan pekerjaan mudah dan mengklaim bahwa pada masa itu tidak ada orang yang bisa melakukannya (selain dirinya). Ia katakan bahwa manakala ia dapatkan adanya landasan hadis tetapi berderajat kesahihan rendah (da’if), ia melakukan apa yang bisa dilakukannya untuk menelusuri transmisi hadis itu dan mencari hadis-hadis lain semakna untuk memperkuatnya.
Di dalam pemikiran Islam, landasan teori maupun prinsip a priori atau self-evident itu – yang diperselisihkan hakekatnya oleh ahli logika dan tidak kunjung mereka temukan itu – dengan gampang didapatkan. Para fuqaha’ tinggal kembali kepada sumber wahyu yang merupakan landasan yang menjadi kesepakat seluruh kaum muslimin. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis itulah yang kemudian menjadi penopang kebenaran kaidah-kaidah fiqh yang mereka rumuskan sebagai kongklusi hasil induksi atas furu’ (fiqh).
Kembali kepada bahasan logika dan filsafat ilmu, keberatan induksi yang lain juga disebut karena menghasilkan generalisasi yang kemudian digunakan untuk menjelaskan atau meramalkan peristiwa-peristiwa mendatang. Bagaimana bisa dibenarkan orang memastikan peristiwa yang belum terjadi dan karenanya belum diobservasi? Bagaimana kesimpulan bahwa “semua agak adalah hitam” akan memastikan dan meramalkan bahwa memang tidak ada gagak berwarna cokelat? Bagaimana jika ternyata ada juga berwarna cokelat? Bagaimana lalu nilai kebenaran kesimpulan induktif itu? Di sini uniknya, di dalam kaidah fiqh “gagak cokelat” itu justeru ditunjukkan bahwa memang ada. Tetapi data yang menyalahi kesimpulan general itu tidak menggangu kebenaran kongklusi yang bersifat umum itu. Generalisasi itu tetap utuh keberadaannya berkat topangan dalil.
Yang dimaksud dengan “gagak cokelat” itu adalah kasus-kasus perkecualian yang disebut dengan mustathnayat. Setiap kaidah milik al-qawa’id al-fiqhiyah dipastikan memiliki kasus-kasus perkecualian. Kembali kepada contoh kaidah di atas, sebuah penelitian atas rincian partikular (furu’) dari fiqh menghasilkan kongklusi berupa kaidah الأمور بمقاصدها yang artinya “semua nilai perbuatan tergantung maksudnya, motivasi maupun tujuannya”. Struktur kalimat seperti ini di dalam Bahasa Arab menunjuk arti ‘amm, yang berarti daya cakupnya luas, meliputi segala sesuatu yang disebut dengan “perbuatan”. Kaidah ini valid karena ada dukungan hadis yang berkualitas sahih, yaitu إنماالأعمال بالنيات . Salah satu contoh fiqhnya adalah soal keharusan niyyah (niat) dalam urusan ibadah. Membasuh muka tanpa niat adalah membasuh muka biasa, tetapi jika diniati melakukan wudu’ maka menjadi salah satu rukn (unsur) wudu’. Menahan makan dan minum di siang hari tidak akan menjadi ibadah puasa jika tanpa niyyah. Akan tetapi dijelaskan bahwa sebagian ibadah untuk menjadi sah tidak perlu niyyah. Membaca al-Qur’an, membaca salawat, beriman, dan niyyah itu sendiri menjadi kasus perkecualian (mustathnayat) yang tidak perlu kepada niyyah. Fiqh dalam kajian al-qawa’id al-fiqhiyah ditampilkan sosok rasionalnya. Oleh karena itu bisa ditanyakan mengapa kedua kelompok ibadah di atas dibedakan dari segi kewajibannya menggunakan niyyah. Jawabannya adalah dikarenakan perbuatan dalam ibadah kelompok pertama memang multi tafsir, bisa dianggap ibadah maupun bukan, sehingga perlu niyyah agar jelas dimaksukan sebagai ibadah. Sedangkan perbuatan dalam kelompok kedua sudah khas dirinya, sudah jelas berbeda dengan perbuatan biasa yang non-ibadah. Jadi, ibadah yang memerlukan niyyah agar menjadi sah adalah ibadah yang tatacara melakukannya serupa dengan perbuatan non-ibadah. Dengan demikian, sebenarnya dalam fiqh, maksud dari niyyah itu sendiri adalah untuk membedakan (tamyiz) antara ibadah dengan perbuatan non-ibadah (‘adat), antar berbagai macam dan tingkatan ibadah.
Kaidah-kaidah fiqh itu kemudian digunakan sebagai landasan deduksi berikutnya yang bersifat ekstra-tekstual, sesudah deduksi berdasar landasan wahyu, terutama dalam kasus hukum yang memang tidak tercantum di dalam wahyu. Di sini fungsi kaidah-kaidah itu sama dengan fungsi hasil induksi dalam logika maupun pengetahuan, meramalkan dan menjelaskan kasus yang belum pernah diobservasi, yang dalam konteks pemikiran hukum Islam adalah kasus hukum baru yang belum pernah disikapi sebelumnya, terutama karena memang belum disinggung oleh sumber-sumber wahyu, baik langsung maupun tidak langsung.

PENUTUP DAN KESIMPULAN
Sebagian ahli menyangsikan peranan al-qawa’id al-fiqhiyah ini sebagai landasan deduksi untuk mendapatkan aturan fiqh atau furu’ baru. Mereka hanya sampai pada keyakinan bahwa ilmu ini sekedar sebagai sarana memperdalam pengetahuan tentang fiqh saja seperti yang dikatakan oleh al-Zarqa. Tetapi melihat bahwa kaidah-kaidah dari al-qawa’id al-fiqhiyah adalah hasil induksi dengan ciri-cirinya yang jelas sebagai hasil dari penyimpulan induktif, maka bisa dipastikan al-qawa’id al-fiqhiyah memang menyandang fungsi hasil penyimpulan induktif sebagaimana berlangsung dalam ilmu pengetahuan umumnya, yaitu meramalkan atau menjelaskan. Jika di dalam ilmu pengetahuan umumnya, apa yang diramalkan dan dijelaskan adalah hal-hal yang baru yang belum pernah diobservasi, maka di dalam wacana fiqh, apa yang diramalkan atau dijelaskan itu adalah kasus hukum baru yang belum pernah diputuskan sebelumnya oleh sumber wahyu. Oleh karena itu benarlah al-Suyuti ketika mengatakan bahwa al-qawa’id al-fiqhiyah itu adalah generalisasi fiqh dalam kelompok tertentu yang bermanfaat untuk merancang keputusan tentang kasus-kasus hukum yang disebutnya laysat bi masturah, yaitu yang belum diputuskan sebelumnya. Demikian pula benarlah al-Sahari ketika dengan tegas mendefinisikan al-qawa’id al-fiqhiyah sebagai ketentuan yang bisa dipakai untuk mengetahui hukum tentang kasus-kasus yang tidak ada aturan pastinya di dalam Kitab (al-Qur’an), sunnah maupun ijma’ sehingga lahirlah furu’ baru. Prosedur mendapatkan furu’ baru ini disebut dengan ilhaq, yaitu semacam proses analogi (qiyas) yang contohnya tidak didapatkan dari sumber wahyu, melainkan dari fiqh yang sudah jadi.
Dengan demikian, jika rekonstruksi proses induksi-deduksi tentang ilmu sebagai berikut:

Fakta (induksi) hukum dan teori (deduksi) ramalan & penjelasan
maka rekonstruksi proses penyusunan dan pemanfaatan al-qawa’id al-fihqhiyah adalah sebagai berikut:

Furu’ (istiqra’) al-qawa’id al-fiqhiyah (ilhaq) furu’ baru

Bisa disimpulkan di sini, bahwa para fuqaha’ telah menggunakan dua macam induksi, baik induksi lengkap maupun induksi tak-lengkap. Hasil dari kedua macam induksi ini sama-sama dijadikan landasan deduksi untuk mendapatkan hukum (fiqh) yang baru. Hasil induksi lengkap adalah pemastian teks dan otentisitas ayat al-Qur’an dan hadis serta ijma’, sedangkan hasil induksi tak-lengkap adalah rumusan kaidah-kaidah dalam al-qawa’id al-fiqhiyah. Dengan al-qawa’id al-fiqhiyah bisa diatasi keterbatasan jumlah ayat al-Qur’an dan hadis Nabi berhadapan dengan ketidak terbatasan jumlah kasus hukum yang terus menerus muncul dalam sejarah kemajuan manusia, tetapi kesemuanya tetap berada di dalam bingkai hukum Tuhan, yaitu posisi yuristik di dalam penalaran hukum Islam.
Akan tetapi sesungguhnya yang sedang dibangkitkan untuk dikaji dewasa ini adalah maslahah yang telah disepakati menjadi tujuan hukum Islam. Dengan demikian tulisan ini menganjurkan dilakukannya penelitian lanjutan tentang bagaimana peranan induksi dalam mewujudkan maslahah dalam seluruh bangunan hukum Islam dalam kaitannya dengan garapan penyikapan terhadap kasus-kasus hukum baru yang muncul akibat perkembangan kontemporer dalam peradaban manusia, sehingga warisan lama mampu menghadapinya dalam naungan kesatuan antara religiusitas dan keadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad. Usul al-Fiqh. T.t.: Dar al-Fiqh al-‘Arabi.
Chalmers, A. F. What is This Thing Called Science? Queensland: University of Queensland Press, 1982.
Al-Dihlawi, Shah Wali Allah Ahmad bin ‘Abd al-Rahman. Al-Insaf fi Bayan Sabab al-Ikhtilaf fi al-Ahkam al-Fiqhiyah. Kairo: 1389 H.
Dister, Nico Syukur. “Descartes, Hume dan Kant: Tiga Tonggak Filsafat Modern”, dalam FX. Mudji Sutrisno & F. Budi Hardiman, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992.
Ewing, A.C. The Fundamental Questions of Philosophy. New York: Collier Books, 1962.
Al-Ghazali, Abu Hamid. al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul ed. Muhammad ‘Abd al-Salam ‘Abd al-Shafi. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah: 2000.
Hadi, P. Hardono. Epistemologi: Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994.
Hasan, Ahmad. The Early Development of Islamic Jurisprudence. Delhi: Adam Publishers & Distributors, 1994).
Khallaf, ‘Abd al-Wahhab. ‘Ilm Usul al-Fiqh. Jakarta: al-Majlis al-A’la al-Indunisi li al-Da’wah al-Islamiyah, 1972.
Madkur, Muhammad Salam. Al-Ijtihad fi al-Tashri’ al-Islami. Kairo: Dar al-Nahdah al-Misriyah, 1984.
Mehra, Partap Sing dan Jazir Burhan. Pengantar Logika Tradisional. Bandung, Binacipta, 1988.
Nyazee, Imran Ahsan Khan. Theories of Islamic Law. Islamabad: The International Institute of Islamic Thought, 1994.
Olson, Robert G. Short Introduction to Philosophy. New York-Chicago-San Francisco-Atlanta: Harcourt, Brace & World, Inc., 1967.
Al-Razi, Fakhr al-Din Muhammad bin ‘Umar bin al-Husayn. Al-Mahsul fi ‘Ilm al-Usul, ed. Taha Jabir Fayyad al-‘Alwani. Riyad: Jami’ah al-Imam Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyah, 1400 H.
Russell, Bertrand. History of Western Philosophy. London: Routledge, 2000.
Al-Sahari, ‘Abdullah bin Sa’id Muhammad ‘Abbadi al-Lahji. Idah al-Qawa’id al-Fiqhiyah. Surabaya: al-Hidayah, 1410 H.
Al-Salih, Subhi. Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1977.
Al-Subki, ‘Ali bin ‘Abd al-Kafi dan Taj al-Din ‘Abd al-Wahhab bin ‘Ali al-Subki. Al-Ibhaj fi Sharh al-Minhaj. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995.
Al-Suyuti, Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr. Al-Ashbah wa al-Naza’ir , ed. Muhammad Muhammad Tamir dan Hafiz ‘Ashur Hafiz. Kairo: Dar al-Salam, 1998.
White, Morton (ed.). The Age of Analysis. New York: Mentor Books-The New American Library of World Literature Inc., 1959.
Zainal ‘Abidin, I. Mushthalah Hadits: Dirayah dan Riwayah. Bandung: Fa. Setia Karya, t.t.
Al-Zarqa, Mustafa Ahmad .“Lamhah Tarikhiyah ‘an al-Qawa’id al-Fiqhiyah al-Kulliyah”, dalam Ahmad bin Muhammad al-Zarqa. Sharh al-Qawa’id al-Fiqhiyah. Damaskus: Dar al-Qalam, 1996.

Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *