ASWAJA MUDA BAWEAN

Kumpulan Hasil-Hasil Bahtsul Masail via Kajian Fikih Terapan [KFT]

Tanpa kategori

Poligami, Adilkah?

3 Mins read

Keadilan adalah pemberian hak sesuai dengan porsinya. Jika kita bekerja satu minggu, jangan iri dengan gaji orang yang bekerja satu bulan. Jika kita punya satu toko, jangan iri dengan pendapatan orang yang punya sepuluh toko. Tidak pantas. Bahkan jika kita sekolah satu tahun ingin mendapatkan ilmu sama dengan orang yang sekolah limatahun, itu yang tidak adil. Jika kita kerjanya malas-malasan, diberi hasil yang sama dengan orang yang kerjanya sangat giat, itu yang tidak adil, meski kita sama-sama orangIndonesia misalnhya. Tapi kalau kita sama-sama suatu bangsa, yang satu boleh mengembangkan nuklir yang lain tidak boleh, tentu itu tidak adil. Atau jika kita sama-sama mendapat nilai tujuh dalam ujian, (dan sama pula dalam hal yang lain) yang satu lulus yang lain tidak, tentu itu tidak adil.

 

Yang mensyariatkan menikah itu siapa sih? Coba dipikir. Jika manusia tidak perlu menikah (tidak disyariatkan menikah) siapa yang dirugikan? Laki-laki atau perempuan? Jika memperkosa tidak dilarang, siapa yang dirugikan? Atau jika hubungan seksual bebas tanpa ikatan, siapa yang menanggung akibat dari hubungan itu. Siapa yang hamil. Atau jika tidak ada yang mau hamil karena tidak ada pernikahan siapa penerus keturunan manusia? Maha Benar Allah, adalah sang pengatur yang Maha Sempurna. Jika satu hukum itu tidak universal untuk semua tempat dan jaman, untuk Arab atau Jawa, China atau Amerika, untuk 14 abad yang lalu atau 14 abad yang akan datang, tentu sang pencipta tidak akan menurunkan peraturannya melalui nabi-Nya yang al amin (terpercaya) dalam kitab-Nya yang terbukti adalah mujizat hingga sekarang.

 

Jangan merasa iri jika kita jadi bayi yang lemah, karena Sang Pencipta telah mencipta cinta. Jangan takut jadi perempuan yang lebih lemah dari laki-laki (pada umumnya), karena ada cinta dan kasih sayang. Sebagai perempuan, jika melawan laki-laki (secara umum) jangan menggunakan kekuatan, tapi gunakanlah rayuan dan cinta, maka kedudukan jadi seimbang.

 

Indonesia saja setuju bahwa perempuan perlu dilindungi (dengan adanya UU perlindungan terhadap perempuan). Paradoksnya, sebagai ‘yang perlu dilindungi’ tidakkah harus berterima kasih dengan adanya syariah pernikahan itu?

 

Bapakku mencintai ibuku, tapi bapakku juga sangat mencintai aku. Apakah tidak sangat konyol jika ibuku cemburu dengan cintanya bapakku kepadaku. Ibuku juga mencintai adikku. Apakah perlu, aku cemburu akan cinta ibuku pada adikku itu?

 

Q.4:3:Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil*, maka (kawinilah) seorang saja**, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. *. Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.**. Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.

 

Bapakku berkecukupan. Dia punya seorang pembantu yang harus mencukupi kebutuhan tiga anaknya yang masih kecil, karena suami pembantu itu telah tiada. Bapakku memang tidak kemudian berpoligami dengan menikahi pembantu itu.

 

Tapi saya mencoba berpikir dari sisi ibuku. “Apakah sebagai seorang istri aku rela membagi kebahagiaan dengan orang lain sesama perempuan. Sebagai sesama perempuan. Dengan mengawinkan pembantuku itu dengan suamiku. Tentu kebahagiaan perempuan itu akan sangat bertambah. Tapi apakah kebahagianku akan berkurang? Tentu tidak. Aku akan tetap berkecukupan. Anak-anakku juga tetap berkecukupan. Apa bedanya keluarga kami bertambah empat orang karena adanya pernikahan itu atau keluarga kami bertambah karena aku melahirkan anak lagi, atau anak-anak kami menikah. Memang, soal harta ini menjadi terbagi. Tapi tentu bagi yang tidak rela adanya pembagian itu adalah hanya untuk orang-orang yang tidak bersifat mulia. Seperti orang yang berpikir “jika aku hanya punya satu saudara tentu warisan orang tuaku hanya dibagi dua, tapi karena ada adik lagi, bagianku jadi lebih kecil.” Hanya orang yang cemburu dengan saudara sendiri seperti itu yang tidak rela melihat orang lain lebih bahagia dengan sedekah kita yang sedikit. Padahal nilai yang kita berikan hanya sedikit dibanding nilai yang dirasakan oleh yang menerima. Apakah kita mau membuat orang lain bahagia karena sesuatu dari kita. Itu saja.

Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *