Jihad berasal dari akar kata jaahada yujaahidu mujaahadatan wa jihaadan, mengikuti wazan faa’ala yufaa’ilu mufaa’alatan wa fi’aalan, dengan tambahan harakat syiddah di atasnya, sehingga menunjukkan pengertian زيادة الألف. Dengan melihat konteks gramatikalnya, maka arti dari jaahada yujaahidu, adalah upaya usaha yang lebih. Ringkasnya, jaahada yujaahidu berarti mengupayakan suatu usaha. Hal ini senada dengan pengertian yang disampaikan oleh Dr. Mushtofa Al-Khan dalam Kitab Al Fiqh Al Manhajy ‘ala Madzhabi al-Imam Al-Syafi’iy, yang mengutarakan bahwasannya:
الـجِـهَــادُ فِي اللّـُغَــةِ مَــصْــدَرُ جَــاهَـــدَ، اَيْ بَـــذَلَ جُــهْــدًا فِي سَـبِــيْـلِ الْــوُصُــوْلِ إِلىَ غَـايَــةٍ مَـا وَالْـجِـهَـادُ فِي اصْـطِــلاَحِ الـشَّــرِيْــعَــةِ ألإِسْــلاَمِـيَّــةِ : بَــذْلُ الْــجُــهْــدِ فِـي سَــبِـيْـلِ إِقـَـامَــةِ الْـمُـجْـتـَمَــعِ الإْسْــلاَمِـيِّ ، وَأَنْ تـَـكُــوْنَ كـَـلِــمَـةُ اللهِ هِــيَ الْـعُـلْـيَـا ، وَأَنْ تـَـسْــوَدَّ شَــرِيـْـعَــةُ اللهِ فِي الْــعَـالَــمِ كُــلِّــهِ .
“Kata jihad yang merupakan bentu masdar dari kata kerja jaa-ha-da dalam pengertian bahasa adalah MENCURAHKAN KESUNGGUHAN DALAM MENCAPAI TUJUAN APAPUN.
Kata jihad dalam istilah syariat Islam adalah MENCURAHKAN KESUNGGUHAN dalam upaya menegakkan masyarakat yang Islami dan agar kalimah “ALLAH” (ajaran tauhid dinul Islam) menjadi “MULIA” serta “SYARI’AT” Allah dapat dilaksanakan di-‘SELURUH’ penjuru dunia.”
Kaitannya dengan I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah An-Nahdliyah
I’tiqad adalah merupakan gambaran dari keyakinan yang kuat yang terpatri di dalam hati, yang tidak akan pernah goyah, meskipun diterpa berbagai masalah, atau diguncang berbagai terpaan badai logika atau pentakfiran. I’tiqad sangat jauh berbeda pengertiannya dengan ilmu. Jika ilmu merupakan sebuah frasa untuk menggambarkan tentang keadaan di mana keadaan tersebut harus bisa diterima oleh aqal, maka I’tiqad justru menafikan aqal. Jika dengan ilmu saja, sangat jauh perbedaannya, maka bagaimana dengan “pengetahuan”, yang merupakan sekedar hasil tahu saja, tahu yang berangkat dari pengamatan panca indera? Tentu akan sangat jauh berbeda. Meskipun pada dasarnya, I’tiqad juga bisa berangkat dari proses “pengetahuan” dan “ilmu”, sebagaimana digambarkan oleh para ulama’ dalam banyak literature klasik.
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa NU merupakan salah satu organisasi masa yang terbesar di Indonesia, yang dalam Qanun Asasinya menyatakan diri sebagai penganut Firqah Ahlussunnah wal Jama’ah ‘ala Imam Abu al Hasan Al-Asy’ary dan Abu Manshur al-Maturidy. Sebagai pengamal suatu firqah, maka ada kesungguhan dari warga nahdliyah untuk berusahaa menjaga I’tiqadnya tersebut untuk dirancaukan dari berbagai pemahaman dan pemikiran yang berasal dari firqah lain. Karena dianut oleh mayoritas umat Islam, maka sudah seharusnya dari para pembesar dan pemimpin firqah tersebut, selaku tiang penyangga utama dari amaliyah firqah, untuk berempati dalam menjaga keberlangsungannya. Jika tidak ada rasa empati dan kepedulian, maka sebagaimana sabda Nabi:
لينتبهن أقوام عن ودعهم الجمعات أو ليختمن الله على قلوبهم ثم ليكونن من الغافلين
“Hendaknya orang-orang itu mengingatkan umatnya untuk tidak meninggalkan jama’ah, atau (Jika tidak), Allah SWT akan benar-benar mengunci hati-hati mereka, sehingga mereka benar-benar menjadi kaum yang lalai.”
Arti kasarnya, bahwa jika para pendakwah Islam dari Firqah Ahlussunnah Wal Jama’ah, tidak ada yang mau peduli terhadap kelestarian tuntunan I’tiqadnya, maka Nabi SAW mengancam: ليختمن الله على قلوبهم (Allah akan mengunci hati-hati mereka) sehingga tuntunan I’tiqadnya akan menjadi bagian tuntunan I’tiqad yang dilalaikan oleh warga yang ada di dalam barisan Nahdlatul ‘Ulama. Kaum Nahdliyin akan disepelekan oleh penganut firqah lain. Warga nahdliyin akan menjadi kaum akar rumput (Grassroot) dan secara tidak langsung juga berarti keyakinan warga nahdliyin sekaligus juga menjadi keyakinan Grassroot.
Pertanyaannya, I’tiqad anda merupakan I’tiqad yang agung apa tidak?
Allah-nya kaum Nahdliyin adalah Allah yang Maha Besar. Allah-nya warga Nahdliyin adalah Allah yang JAUH dari SIFAT berjissim sebagaimana yang digambarkan oleh kaum Mujassimah atau kaum Musyabbihah. Allah-nya warga Nahdliyin, adalah Allah yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, Allah yang jauh dari fahamnya kaum Wahabi yang menshifati Allah dengan duduk di atas ‘Arasy dan digambarkan oleh mereka bahwa ‘Arasy-nya Allah ada di atas. Tidak, sekali lagi Allah-nya kaum Nahdliyin adalah bukan Allah yang semacam itu, karena Allah yang semacam itu, adalah Allah yang dibatasi oleh ruang, waktu dana rah. Allah-nya kaum Nahdliyin adalah Allah yang Tiada serupa dengan sesuatu apapun (ليس كمثله شيئ فى الأرض ولا فى السماء), Allahnya kaum Nahdliyin adalah yang Wujudnya sekarang adalah sama dengan Wujudnya sebelum adanya makhluk yang diciptakan. Allahnya Nahdliyin, adalah Allah yang ada tanpa tempat, dan tanpa jihhah (arah). Karena sesuatu yang memiliki tempat dan arah, adalah menunjukkan adanya sifat lemah.
Karena Allah-Nya kaum Nahdliyin adalah Allah yang Maha Tinggi dan Maha Mulia, maka sudah barang tentu, hukum memulyakan Allah, adalah Fardlu ‘Ain, terkhusus kepada para pendakwah. Dengan demikian, hal ini juga berarti bahwa meniinggikan kalimah Allah adalah juga Fardlu ‘Ain. Akankah seorang yang beri’tiqad demikian dengan serta merta menerima dengan tinggal diam dan berpangku tangan? Jika masih saja ada orang yang mau berpangku tangan, tidak peduli akan I’tiqadnya, maka sudah pasti perlu dipertanyakan, bagaimanakah I’tiqad yang ia punyai memberi pengaruh akan dirinya?
مثل كلمة طيبة كشجرة طيبة أصلها ثابت وفرعها فى السماء
“Perumpamaan kalimah thayyibah itu adalah seperti pohon yang kokoh, akarnya menancap kuat di bumi, dan cabangnya di langit”
ومثل كلمة خبيثة كشجرة خبيثة اجتثت فى الأرض
“Dan perumpamaan kalimah khobiitsah (keyakinan yang buruk), seperti pohon yang buruk, yang akarnya tidak menancap jauh ke dalam bumi”, seperti rumput, diinjak ke sana ke mari, atau bahkan dicabut dari bumi, sehingga matilah ia. Na’uudzubillah.
Akhir kata, mari kita bentengi keyakinan Aswaja an-Nahdliyah kita. Karena jika tidak, Allah SWT benar-benar akan menempatkan kitaa sebagai kaum Grassrote, kaum yang terabaikan (الغافلين).
Menjaga dan melestarikan NU sama artinya dengan menjaga I’tiqad bahwa Allah SWT adalah Dzat yang Maha Suci, dan kesucian Allah tidak bisa dikotori oleh manusia, atau bahkan oleh sifat kelemahan sekalipun sebagaimana yang digambarkan oleh kaum Mujassimah, Mu’tazilah, Jabbariyah, Qadariyah dana tau bahkan Wahabi yang akhir-akhir ini marak menyerukan bahwa kaum nahdliyin adalah Kafir, kaum yang halal darahnya, kaum yang berhaq untuk diiambil kehormatannya. Wa’iyaadzubillah. (Muhammad Syamsudin)
1 Comment