Dalam wacana metode pemikiran, para teolog klasik dapat dikategorikan menjadi empat kelompok. Pertama, kelompok rasioalis yang diwakili oleh aliran Mu’tazilah yang pelapori oleh Washil bin Atho’, kedua, kelompok tekstualis dihidupkan dan dipertahankan oleh aliran salaf yang munculkan oleh Ibnu Taimiyah serta generasi berikutnya. Ketiga, kelompok yang pemikirannya terfokuskan pada politik dan sejarah kaum muslimin yang diwakili oleh syi’ah dan Khawarij, dan keempat, pemikiran sintetis yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Didalam PMII Aswaja dijadikan Manhajul Fikri artinya Aswaja bukan dijadikan tujuan dalam beragama melainkan dijadikan metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran agama. Walaupun banyak tokoh yang telah mencoba mendekontruksi isi atau konsep yang ada dalam aswaja tapi sampai sekarang Aswaja dalam sebuah metode berfikir ada banyak relevasinya dalam kehidupan beragama, sehingga PMII lebih terbuka dalam mebuka ruang dialektika dengan siapapun dan kelompok apapun.
Rumusan aswaja sebagai manhajul fikri pertama kali diintrodusir oleh Kang Said (panggilan akrab Said Aqil Siradj) dalam sebuah forum di Jakarta pada tahun 1991. Upaya dekonstruktif ini selayaknya dihargai sebagai produk intelektual walaupun juga tidak bijaksana jika diterima begitu saja tanpa ada discourse panjang dan mendalam dari pada dipandang sebagai upaya ‘merusak’ norma atau tatanan teologis yang telah ada. Dalam perkembangannya, akhirnya rumusan baru Kang Said diratifikasi menjadi konsep dasar aswaja di PMII. Prinsip dasar dari aswaja sebagai manhajul fikri meliputi ; tawasuth (mederat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang). Aktualisasi dari prinsip yang pertama adalah bahwa selain wahyu, kita juga memposisikan akal pada posisi yang terhormat (namun tidak terjebak pada mengagung-agungkan akal) karena martabat kemanusiaan manusia terletak pada apakah dan bagaimana dia menggunakan akal yang dimilikinya. Artinya ada sebuah keterkaitan dan keseimbangan yang mendalam antara wahyu dan akal sehingga kita tidak terjebak pada paham skripturalisme (tekstual) dan rasionalisme. Selanjutnya, dalam konteks hubungan sosial, seorang kader PMII harus bisa menghargai dan mentoleransi perbedaan yang ada bahkan sampai pada keyakinan sekalipun. Tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan apalagi hanya sekedar pendapat kita pada orang lain, yang diperbolehkan hanyalah sebatas menyampaikan dan mendialiektikakakan keyakinan atau pendapat tersebut, dan ending-nya diserahkan pada otoritas individu dan hidayah dari Tuhan. Ini adalah menifestasi dari prinsip tasamuh dari aswaja sebagai manhajul fikri. Dan yang terakhir adalah tawazzun (seimbang). Penjabaran dari prinsip tawazzun meliputi berbagai aspek kehidupan, baik itu perilaku individu yang bersifat sosial maupun dalam konteks politik sekalipun. Ini penting karena seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di dunia ini disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak seharusnya. walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan menposisikan segala sesuatu pada proporsinya masing-masing adalah sikap yang paling bijak, dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi dari sikap pengecut dan oportunis.
Aswaja dan tantangan masa kini dan masa depan
Sebelum kelompok-kelompok teologis dalam Islam lahir, Ahlussunnah Wal Jamaah (selanjutnya disebut Aswaja) adalah umat Islam itu sendiri. Namun setelah kelompok-kelompok teologis muncul, Aswaja berarti para pengikut Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi.
Dalam pengertian terakhir ini, Aswaja sepadan dengan kelompok-kelompok teologis semisal Mu’tazilah, Syiah, Khawarij dan lain-lain.
Dalam sejarahnya, kemunculan kelompok-kelompok ini dipicu oleh masalah politik tentang siapakah yang berhak menjadi pemimpin umat Islam (khalifah) setelah kewafatan Rasulullah, Muhammad SAW. Setelah perdebatan antara kelompok sahabat Muhajirin dan Anshor dituntaskan dengan kesepakatan memilih Abu Bakar sebagai khalifah pertama, kesatuan pemahaman keagamaan umat Islam bisa dijaga. Namun menyusul huru-hara politik yang mengakibatkan wafatnya khalifah ketiga, Utsman Bin Affan, yang disusul dengan perang antara pengikut Ali dan Muawiyah, umat Islam terpecah menjadi kelompok-kelompok Syiah, Khawarij, Ahlussunnah dan –disusul belakangan, terutama ketika perdebatan menjadi semakin teologis oleh—Mu’tazilah dan lain-lain.
Aswaja melihat bahwa pemimpin tertinggi umat Islam ditentukan secara musyawarah, bukan turun-temurun pada keturuan Rasulullah SAW sebagaimana pandangan Syiah. Aswaja memandang keseimbangan fungsi nalar dan wahyu, tidak memposisikan wahyu di atas nalar sebagaimana pandangan Mu’tazilah. Aswaja melihat manusia memiliki kekuasaan terbatas (kasb) dalam menentukan perbuatan-perbuatannya, bukan semata disetir oleh kekuatan absolut di luar dirinya (sebagaimana pandangan Jabariyah) atau bebas absolut menentukan perbuatannya (sebagaimana pandangan Qadariyah dan Mu’tazilah).
Pada wilayah penggalian hukum fiqh, Aswaja (sebagaimana diwakili oleh Imam yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) bersepakat menggunakan empat sumber hukum: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas; dan tidak bersepakatan dalam menggunakan sumber-sumber yang lain semisal: istihsan, maslahah mursalah, amal ahl al madinah dan lain-lain.
Setelah melalui evolusi sejarah panjang, Aswaja sekarang ini menjadi mayoritas umat Islam yang tersebar mulai dari Jakarta (Indonesia) hingga Casablanca (Maroko), disusul oleh Syi’ah di Iran, Bahrain, Lebanon Selatan; dan sedikit Zaidiyah (pecahan Mu’tazilah) di sejumlah tempat di Yaman. Dengan mengacu pada ajaran Muhammad Bin Abdulwahhab, rezim Saudi Arabia berafiliasi kepada apa yang disebut Wahabi. Sementara di Asia Selatan (Afganistan dan sekitarnya) reinkarnasi Khawarij menemukan tanah pijaknya dengan sikap-sikap keras dalam mempertahankan dan menyebarkan keyakinan.
Di Indonesia, Aswaja kurang lebih sama dengan nahdliyin (sebutan untuk jamaah Nahdlatul Ulama), meskipun jamaah Muhammadiyah adalah juga Aswaja dengan sedikit perbedaan pada praktik hukum-hukum fiqh. Artinya, arus besar umat Islam di Indonesia adalah Aswaja.
yang paling penting ditekankan dalam internalisasi ajaran Aswaja di Indonesia adalah sikap keberagamaan yang toleran (tasamuh), seimbang (tawazun), moderat (tawassuth) dan konsisten pada sikap adil (i’tidal). Ciri khas sikap beragama macam inilah yang menjadi kekayaan arus besar umat Islam Indonesia yang menjamin kesinambungan hidup Indonesia sebagai bangsa yang plural dengan agama, suku dan kebudayaan yang berbeda-beda.
Ada dua kekuatan besar yang menjadi tantangan Aswaja di Indonesia sekarang ini dan di masa depan: kekuatan liberal di satu pihak dan kekuatan Islam politik garis keras di pihak yang lain. Kekuatan liberal lahir dari sejarah panjang pemberontakan masyarakat Eropa (dan kemudian pindah Amerika) terhadap lembaga-lembaga agama sejak masa pencerahan (renaissance) yang dimulai pada abad ke-16 masehi; satu pemberontakan yang melahirkan bangunan filsafat pemikiran yang bermusuhan dengan ajaran (dan terutama lembaga) agama; satu bangunan pemikiran yang melahirkan modernitas; satu struktur masyarakat kapital yang dengan globalisasi menjadi seolah banjir bandang yang siap menyapu masyarakat di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Sebagai reaksinya, sejak era perang dingin berakhir dengan keruntuhan Uni Soviet, Islam diposisikan sebagai “musuh” terutama oleh kekuatan superpower: Amerika Serikat dan sekutunya. Tentu saja bukan umat Islam secara umum, namun sekelompok kecil umat Islam yang menganut garis keras dan secara membabi-buta memusuhi non muslim. Peristiwa penyerangan gedung kembar pusat perdagangan di New York, Amerika, 11 September 2001, menjadikan dua kekuatan ini behadap-hadapan secara keras. Akibatnya, apa yang disebut ‘perang terhadap terorisme’ dilancarkan Amerika dan sekutunya dimana-mana di muka bumi ini.
Yang patut digaris bawahi: dua kekuatan ini, yang liberal dan yang Islam politik garis keras, bersifat transnasional, lintas negara. Kedua-duanya menjadi ancaman serius bagi kesinambungan praktik keagamaan Aswaja di Indonesia yang moderat, toleran, seimbang dan adil itu.
Gempuran kekuatan liberal menghantam sendi-sendi pertahanan nilai yang ditanamkan Aswaja selama berabad-abad dari aspeknya yang sapu bersih dan meniscayakan nilai-nilai kebebasan dalam hal apapun dengan manusia (perangkat nalarnya) sebagai pusat, dengan tanpa perlu bimbingan wahyu. Gempuran Islam politik garis keras menghilangkan watak dasar Islam (Aswaja lebih khusus lagi) yang ramah dan menyebar rahmat bagi seluruh alam semesta.