ASWAJA MUDA BAWEAN

Kumpulan Hasil-Hasil Bahtsul Masail via Kajian Fikih Terapan [KFT]

KISWAH

Telaah Teks Tauhid Jawan menurut Perspektif Tauhid Asy'ary-Maturidy

3 Mins read

Hari ini, entah kenapa saya menjadi tertarik untuk mengkaji tentang ilmu kalam Jawa (Kejawen). Kajian ini, saya hadirkan bukan bermaksud untuk memberikan syarah, akan tetapi mencoba untuk mencermati dan meneliti sisi kalam Jawa, khususnya jika dibandingkan dengan Tauhid Asy’ariy-Maturidy. Mengapa? Karena notabene kalam Kejawen banyak sekali dinisbahkan kepada beliau para Wali Songo, khususnya Sunan Kalijogo. Seiring karena penulis mencoba husnudhan dengan penisbahan tersebut, maka penulis mencoba memahaminya dari perspektif latar belakang kehidupan beliau Sunan Kalijaga, yang mana beliau adalah tokoh sastrawan dan sekaligus da’i. Sebagai tokoh sastrawan, sudah barang tentu akan banyak kata-kata yang mengandung makna pyoratif/ganda. Dengan kata lain, ada makna dibalik teks tertulis.
Penulis akan mengawali bahasan dari penggalan wejangan Serat Wirid Hidayat Djati, yang sebenarnya tulisan Raden Ng. Ronggowarsito. Bunyi penggalan serat wirid itu sebagai berikut:
Sajatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhingin iku Ingsun, ora ana Pangeran, anging Ingsun Sajatining Dzat Kang Amaha Suci anglimputi ing sifatingsun, anartani ing asmaningsun, amratandhani ing af’alingsun. 
Judul pembuka tulisan di atas adalah Wewisikan Ananing Dzat [Bisikan adanya Dzat]. Adapun, jika diterjemahkan, bunyi dari teks di atas, akan menjadi seperti berikut:
“Sejatinya tidak ada apa-apa. Karena semenjak masih awang-uwung belum ada شيئ، yang wujud qadim itu Ingsun, tiada Pangeran kecuali Ingsun, Sajatinya Dzat Yang Maha Suci, meliputi Sifat Ingsun, menjadi pengenal nama Ingsun, dan menjadi pertanda af’al Ingsun.
Melihat dari model gaya bahasa di sini, seolah yang sedang berbicara di atas adalah Allah, yang mana kata Allah itu diwakili oleh kata Ingsun. Bagaimana lafadh Ingsun bisa diartikan sebagai Allah?
Ingsun dalam istilah Jawa berasal dari kata Ing Susuhunan, maksudnya adalah yang berhak dijunjung tinggi (dipundi-pundi)Jadi Ingsun di dalam teks ini bukan diartikan sebagai aku, sebagaimana kalau orang Jawa bilang: “Ingsun paringi asmo siro Bejo.” Ingsun yang terakhir ini memang menunjukkan makna aku manusia.
Jika dicermati pada bagian “kang ana dingin iku Ingsun“, seolah pengarang serat ini hendak ingin menunjukkan cara mengenal Dzat sebelum adanya syai‘, yang mana Dzat tersebut belum memiliki sebutan. Mengapa belum ada sebutan? Logikanya, adalah karena belum ada yang menyebut. Makanya, kemudian sebutan itu diwakili oleh phoem Ingsun, maksudnya ya Dzat Allah itu sendiri. Ini, merupakan tinjauan dari segi filanthropis nama. 
Meskipun Sang Dzat belum ada yang menyebut disebabkan karena belum ada sesuatu yang ada, namun Sang Dzat harus bersifat wajibul wujud (wajib adanya). Dalam Tauhid Asy’ariyah-Maturidiyah, makna wajib adanya Dzat / Wajibal Wujud tadi ditandai sebagai kondisi nafsiyah Dzat, kemudian ditengarai sebagai latar belakang pelabelan adanya Sifat Nafsiyah, yakni Allah Wujud. الله موجود بلا مكان (Allah SWT ada tanpa tempat). Bagaimana mau bertempat, wong yang namanya tempat saja belum diciptakan. 
Adanya tempat, menandakan adanya شيئ. Dan segala شيئ adalah makhluq, artinya syai’ itu pasti ada karena Ada Yang Mengadakan. Sementara Allah SWT bukanlah شيئ. Dia ada bukan karena diadakan. لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوا أحد. Tapi, Dia bersifat Ada dan memang harus ada (Wajib Wujud). 
Dengan demikian, harus ada pembedaan antara Dzat yang Wajib Ada tadi dengan “sesuatu yang diadakan adanya, yakni makhluq.” Upaya pembedaan ini kemudian melahirkan sifat salbiyah. Isi dari sifat salbiyah ini adalah bahwa Allah harus bersifat Qidam (Maha Dahulu), Baqa’ (kekal), mukhalafatul lilhawadits (berbeda dari makhluk), qiyaamuhu binafsihi (tidak bergantung kepada selain-Nya), Wahdaniyah (Maha Tunggal serta Tiada duanya), ilmun (Maha Mengetahui), hayat (Maha Hidup).
Keberadaan dari sifat salbiyah ini diisyaratkan dalam serat wirid di atas melalui kalimat: Ora ana Pangeran anging Ingsun, Sajatining Dzat Kang Amaha Suci anglimputi ing sifatingsun (Tiada tuhan selain Ingsun (Allah SWT), Sejatinya Dzat Yang Maha Suci meliputi Sifat-Ku). Kalimat Kang Maha Suci anglimputi ing sifatingsun, maksudnya adalah kita diminta untuk membedakan antara Sifat-Nya Dzat yang Wajibal Wujud tadi dengan sifat makhluq. Usaha pembedaan ini dirangkum seluruhnya dalam sifat salbiyah.
Berangkat dari sifat salbiyah,  kemudian lahir Sifat Maany, yang didalam kalam bait itu disebutkan sebagai anartani ing asmaningsun. Kata Anartani asalnya dari kata hanyartani yang artinya menyertai (maiyah). Maksudnya adalah antara sifat nafsiyah, sifat salbiyah dan sifat ma’any tidak ada pemisahan. Sifat ma’any memperkenalkan sifat salbiyah dan sifat salbiyah memperkenalkan sifat nafsiyah. Jadi, tidak ada pemilahan didalamnya. 
Jadi jika dirangkaikan seluruhnya, mulai dari kalam anartani ing asmaningsun maksudnya, dengan mengenal sifat salbiyahnya Allah, maka Allah wajib pula memiliki sifat ma’any yg secara garis besarnya diperkenalkan lewat asmaul husna, dan diringkas dalam sifat Qudrah, Iradah, Sama‘, Bashar, Kalam, Qadiran, Muridan. 
Dengan asma’ dikenalilah Af’al. Makanya kemudian, bait terakhir kalam penulis ditutup dengan kata amrantadhani afalingsun. Af’al merupakan wujud terluar dari Dzat. هو الأول والآخر والظاهر والباطن. Wujud terluar (al dlohiru) di sini dikenal dengan sifat manawiyah. Adanya ma’any menandakan adanya ma’nawy. Ini yang membuat Si Penulis serat memakai kata amratandhani (pertanda). Adapun sifat ma’nawiyah Allah SWT selanjutnya ditandai dengan adanya sifat qadiran, muridan, ‘aliman, hayyan, sami’an, bashiran, mutakalliman. 
Demikian tulisan ini. Kritik terhadap tulisan sangat ditunggu oleh penulis.
Wallahu ‘alam.

Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *