ASWAJA MUDA BAWEAN

Kumpulan Hasil-Hasil Bahtsul Masail via Kajian Fikih Terapan [KFT]

KISWAH

Bilamana ditemui Kebuntuan Kesepakatan dalam Bahtsul Masail NU

3 Mins read

A.     Bahtsul Masail di Pesantren

Bahtsul masail adalah merupakan forum pembahasan masalah-masalah yang muncul di kalangan masyarakat yang belum ada hukum dan dalilnya dalam agama.  Peserta bahtsul masail terdiri dari para kiai pakar ahli fiqh dan kalangan profesional yang bersangkutan dengan masalah yang dibahasnya. Uniknya, masalah-masalah yang dibahas tidak hanya masalah agama tetapi juga masalah perkembangan politik yang aktual. Misalnya, bahtsul masail yang baru-baru ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Sidogiri, Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan. Bahtsul masail yang diikuti 180 utusan Pondok Pesantren dan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama se-Jawa Timur.tersebut membahas tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dalam forum tersebut para peserta membahas pemilihan kepala daerah menurut dalil-dalil agama (fiqh), selain hukum negara yang ada. Sebab dalam prakteknya Pemilihan Kepala Daerah banyak ditemukan praktek-praktek politik uang (money politic).

Selain tujuannya sebagai forum pembahasan masalah yang berkembang di masyarakat, bahtsul masail juga sebagai forum untuk membangun ukhuwah dan interaksi antar pesantren dan kegiatan ini biasanya dilaksanakan rutin, baik setiap bulan maupun tahun, dan tempatnya bergilir di beberapa pesantren. Masalah-masalah yang akan dibahas dalam bahtsul masail merupakan usulan dari berbagai pesantren. Usulan masalah itu dikumpulkan dan disaring oleh panitia untuk menjadi tema pembahasan bersama dalam forum tersebut.  Bahtsul Masail dilakukan dengan dua cara, yaitu Bahtsul Masail waqi’iyah (aktual) dan Bahtsul Masail maudhu’iyah (tematik). Dengan demikian, pembahasan menjadi lebih luas dan lebih berkembang, baik dalam forum Muktamar NU maupun forum Munas Alim-Ulama NU.

Tradisi pengambilan keputusan hukum model bahtsul masail di lingkungan pondok pesantren dan di kalangan Nahdlatul Ulama mempunyai tujuan antara lain :

Pertama, supaya NU memiliki pedoman dalam menetapkan hukum, sehingga semua keputusan di dalam bahtsul masail harus berpegang pada cara-cara yang telah ditetapkan di dalam sistem yang sudah disepakati.

Kedua, dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya mauquf atau tertundanya suatu masalah karena tidak ada nash atau tidak ada qaul dalam al-kutubul-mu’tabarah, atau tidak ada  aqwal (pendapat), af’al (perilaku) dan tasharrufat dariassabiqunal awwalun (para perintis) NU. Bahtsul masail juga dimaksudkan untuk menghindarkan munculnya jawaban terhadap berbagai persoalan tanpa pedoman yang benar.

Ketiga, adalah sistem ini sekaligus memberikan penjelasan bahwa bermadzhab di lingkungan Nahdhatul Ulama menggunakan pendekatan qauli (produk pemikiran) dan manhaji sehingga tidak mungkin terjadi kesulitan dalam merespon setiap persoalan yang terjadi, baik yang menyangkut aspek diniyah maupun ijtima’iyah, aspek ekonomi, sosial, politik ataupun aspek-aspek lainnya.

Dengan demikian, pesantren yang selama ini dianggap melestarikan tradisi feodalistik dan otoriter justru merupakan perintis dalam berkembangnya tradisi dialog yang setara dan demokratis melalui bahtsul masail.  Kalangan pesantren justru merupakan komunitas yang telah terbiasa dengan perbedaan pendapat -dan yang lebih penting- menyelesaikan segala perbedaan pendapat dengan cara-cara dialog yang damai dan demokratis, bukan dengan kekerasan apalagi sampai menutup rumah ibadah umat lain yang berbeda agama dan aliran.

B.     Metode Legislasi (Istinbath) Hukum Islam NU

Dari segi historis maupun operasionalitas, Bahtsul Masa’il NU merupakan forum yang sangat dinamis, demokratis dan “berwawasan luas”. Dikatakan dinamis sebab persoalan (masa’il) yang dibahas selalu mengikuti perkembangan (trend) hukum di masyarakat. Demokratis karena dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara kiai, santri baik yang tua maupun muda. Pendapat siapapun yang paling kuat itulah yang diambil. Dikatakan “berwawasan luas” sebab dalam forum bahtsul masa’il tidak ada dominasi mazhab dan selalu sepakat dalam khilaf.

Sistem pengambilan keputusan hukum dalam bathsul masa’il ditetapkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) alim ulama NU di Banadar Lampung pada tanggal 21-25 Januari 1992 dan bertepatan dengan tanggal 16-20 Rajab 1412 H.

Secara garis besar, metode pengambilan keputusan hukum yang ditetapkan NU dibedakan menjadi dua bagian:

1. Ketentuan umum

Dalam ketentuan ini dijelaskan mengenai al-kutub al-mu’tabarat (kitab standar). Yang dimaksud dengan kitab standar ini adalah kitab-kitab yang sesuai dengan akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.

Setelah penjelasan mengenai al-kutub al-mu’tabarat penjelasan berikutnya merupakan rumusan mengenai cara-cara bermazhab atau mengikuti aliran hukum (fikih) dan akidah tertentu.
Aliran fikih dapat diikuti dengan dua cara:

  1. bermazhab secara qawli mengikuti pendapat-pendapat yang sudah “jadi” dalam lingkup aliran atau mazhab tertentu. Sedangkan pendapat Imam mazhabnya disebut qawl dan pendapat ulama mazhab disebut disebut al-wajh. Apabila ulama berbeda pendapat tentang hukum tertentu, ulama sesudahnya dapat melakukan taqrir jama’iy (upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu antara beberapa qawl atau wajh.
  2. bermazhab secara manhaji bermazhab dengan cara mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah di susun oleh imam mazhab.

2. Sistem pengambilan keputusan hukum serta petunjuk pelaksana.

Dalam sistem ini bahtsul masa’il bermazhab kepada salah satu dari empat mazhab yang disepakati dan mengutamakan bermazhab secara qawli. Oleh karena itu, prosedur pengambilan keputusan hukum adalah:

  1. Apabila masalah atau pertanyaan telah terdapat jawabannya dalam kitab-kitab standar dan dalam kitab-kitab tersebut hanya terdapat beberpa qawl atau wajh, maka qawl atau wajh tersebut dapat digunakan sebagai jawaban atau keputusan.
  2. Apabila masalah atau pertanyaan telah terdapat jawabannya dalam kitab-kitab standar, akan tetapi dalam kitab-kitab tersebut terdapat beberapa qawl atau wajh,maka yang dilakukan adalah taqrir jama’iy untuk menentukan menetukan pilihan salah satu qawl atau wajh.

Proses pemilihan salah satu pendapat dilakukan dengan :

  • mengambil pendapat yang lebih mashlahat atau yang lebih rajah (kuat) ;
  • sedapat mungkin melakukan pemilihan pendapat dengan mempertimbangkan tingkatan sebagai berikut:
  1. pendapat yang disepakati oleh al-Syaukhani (Imam Nawawi dan Rafi’i);
  2. pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi saja;
  3. pendapat yang dipegang oleh al-Rafi’i saja;
  4. pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama;
  5. pendapat ulama yang pandai; dan
  6. pendapat ulama yang paling wara’.

Sumber :

  • Keputusan Munas Alim Ulama di Bandar Lampung tahun 1992
  • Sahabat-Sahabat LBM PCNU Pasuruan

Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *